Tuesday, March 18, 2008

Hilangkan Prasangka dan Stereotype Lewat Interaksi

Hilangkan Prasangka dan Stereotype Lewat Interaksi


Dr Jeanny Maria Fatimah, Dosen Psikologi Komunikasi Fisip Unhas

HAMBATAN integrasi kerap terjadi pada etnik Tionghoa dan etnik Bugis-Makassar selama ini. Akar permasalahannya terletak pada prasangka dan stereotype di antara kedua etnik ini. Konflik yang menjurus pada SARA juga pernah terjadi di Makassar dan mengakibatkan roda perekonomian nyaris lumpuh.Padahal, sebenarnya, kedua etnik ini memiliki keinginan untuk saling berinteraksi. Komunitas lintas budaya ini menjadi topik disertasi Dr Jeanny Maria Fatimah, dosen psikologi komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Unhas.

Bagaimana sebenarnya interaksi etnik Tionghoa dan etnik Bugis -Makassar? Kendala apa saja yang ada di dalamnya dan apa solusi agar interaksi berjalan baik tanpa memicu konflik? Berikut petikan wawancara Anggi S. Ugart dengan Jeanny di kantornya, Jumat kemarin:

Anda termasuk konsen meneliti soal interaksi sosial, pembauran dan komunikasi lintas budaya etnik Tionghoa dan Bugis Makassar. Apa yang Anda temukan dalam interaksi pembauran kedua etnik itu dalam saat Anda penelitian di Makassar?

Pada dasarnya, kedua etnik ini memiliki keinginan untuk saling berinteraksi dengan baik. Mereka juga memiliki kecakapan untuk berinteraksi karena sudah saling menghormati dan menghargai, serta saling menerima kekurangan.

Seandainya kedua etnik ini memiliki hal itu, integrasi akan terwujud yang lahir dari interaksi yang dilandasi rasa kebersamaan, solidaritas,dan saling menghargai.

Sejauhmana proses interaksi itu terjadi? Hal itu memerlukan proses dan sementara terjadi. Kita ingat pada periode orde baru. Selama 32 tahun, kebudayaan kaum Tionghoa dilarang muncul. Sejak tahun 1997, pada era reformasi dibuka lagi kran untuk memunculkan budaya etnik Tionghoa. Sekarang ini itu sedang menuju ke proses.

Tapi, proses itu bergantung juga pada masing-masing individu kedua etnik. Kalau individu memandang bahwa interaksi itu merupakan kebutuhan untuk hidup bermasyarakat, maka integrasi akan terwujud walau pun butuh waktu lama. Karena trauma masa lalu, di mana Tionghoa selalu disalahkan dan dijadikan pelampiasan kemarahan.

Walaupun kasusnya sedikit, tapi kita juga harus ingat bahwa etnik Tionghoa ini memiliki andil dalam pembangunan. Dulu saat terjadi kerusuhan di Makassar, toko tutup selama sepekan. Banyak ibu-ibu yang kerepotan memenuhi kebutuhan sehari-sehari.

Jadi, sesuai teori interaksi sosial bahwa setiap orang atau individu membutuhkan individu lain. Demikian juga etnik Tionghoa membutuhkan etnik Bugis-Makassar, dan demikian juga sebaliknya. Karena sifat setiap individu itu membutuhkan bantuan, pertolongan dari orang lain entah itu kapan. Setiap orang saling membutuhkan dalam hidup bermasyarakat.

Untuk menuju interaksi sosial yang baik antara etnik Tionghoa dan etnik Bugis-Makassar ini, faktor apa saja yang mendukung hubungan itu? Yang mendukung adalah harus ada saling menghargai, saling menghormati dan menerima kekurangan masing-masing. Misalnya, ada anggapan bahwa etnik Tionghoa itu cenderung eksklusif, orangnya pelit. Tapi dalam hal-hal tertentu, mereka juga mau menolong dan tak mau eksklusif.

Saya pernah bertanya ke informan tentang pandangan bahwa sebagian masyarakat etnik Tionghoa itu eksklusif, hidupnya tak mau membaur. Katanya mereka, etnik lainnya dalam hal-hal tertentu juga akan mencari komunitasnya. Informan itu mengatakan, cara itu salah satu kebutuhan Tionghoa untuk menghidupkan budayanya.

Selama ini, apa yang menjadi kendala dalam interaksi sosial antara kedua etnik? Kendala pertama adalah masih adanya prasangka dan stereotype yang menandai perbedaan kedua etnik. Etnik Bugis-Makassar menilai bahwa etnik Tionghoa tidak mau bergaul. Padahal, orang Tionghoa berpendapat bahwa mereka sama saja dengan individu lainnya. Mereka juga ingin bergaul dengan siapa saja.

Seperti yang telah saya katakan tadi, teori interaksi sosial mengatakan bahwa setiap individu membutuhkan orang lain dan ingin bergaul dengan siapa saja. Sebenarnya hal itu kendalanya, stereotype yang masih melekat pada etnik Bugis Makassar terhadap etnik Tionghoa. Padahal, mereka juga ingin bergaul seperti yang lainnya.

Apalagi mereka di sini untuk mencari hidup. Jadi mereka itu harus juga menyesuaikan dengan lingkungan di mana mereka berada. Memang ada yang totok tapi mereka sudah tua dan masih dipengaruhi oleh budaya asli.

Tapi yang sudah tiga generasi di sini, logatnya saja sudah sama dengan etnik Bugis-Makassar. Mereka juga sudah tidak lancar berbahasa Mandarin. Hanya satu dua yang bisa, tidak selancar yang totok. Generasi ketiga itu malah sudah ada keturunan etnik Bugis-Makassar, Toraja dan sebagainya. Mereka ingin sekali berintegrasi. Integrasi yang saya teliti itu adalah adanya rasa kebersamaan, ingin hidup berdampingan di mana mereka berada.

Bagaimana dengan etnik Bugis-Makassar sendiri, apakah juga punya keinginan yang sama? Etnik Bugis -Makassar juga harus menyesuaikan diri di mana mereka berada. Jangan hidup di satu wilayah saja. Kalau bisa, mereka hidup di wilayah campuran agar integrasi cepat terjadi, juga tercipta solidaritas. Tapi butuh proses cukup lama.

Sebenarnya, dua etnik ini mau bekerja sama tapi kendalanya hanya pada prasangka dan stereotype yang masih melekat. Dan, memang setiap individu memiliki hal itu.

Bagaimana menghilangkan prasangka dan stereotype itu? Kedua etnik, baik Tionghoa maupun Bugis-Makassar harus lebih sering berinteraksi, bergaul dan terlibat dalam beberapa acara bersama. Itu salah satu jalan keluarnya, berdasarkan hasil penemuan saya dalam penelitian.

Kedua etnik kerap terlibat konflik seperti kejadian beberapa tahun lalu di Makassar. Menurut Anda, apa faktor pemicunya? Hasil temuan saya, karena ada unsur politis, kebijakan yang selama ini lebih menyudutkan etnik Tionghoa. Sebenarnya, mereka tidak menginginkan konflik itu terjadi. Baru-baru saya ketemu dengan tokoh dari etnik Tionghoa bahwa saat terjadi pelecehan seksual di Jl G Latimojong, mereka mengimbau kaumnya agar tidak terlalu emosional. Demikian juga tokoh etnik Bugis-Makassar.

Menurut mereka, biarlah pemerintah dan aparat keamanan yang menyelesaikan. Misalnya, yang bersalah dihukum sesuai prosedur yang berlaku. Jadi, yang tidak bersalah itu jangan dijadikan korban. Tapi, hukumlah mereka yang memang bersalah. Pada saat meneliti, hal ini sempat saya tanyakan. Tokoh-tokoh Tionghoa juga cepat meredam jika ada konflik sebelum menjadi besar.

Dalam pembauran ini, apakah masih akan terjadi konflik antar kedua etnis ini? Menurut saya, seandainya setiap individu itu memiliki keinginan yang sama untuk hidup berdampingan dalam suatu wilayah, maka saya sangat optimis tidak akan terjadi lagi konflik. Sepanjang kedua etnik ini menghapus prasangka dan stereotype yang mengganjal interaksi. Akar permasalahannya itu adanya prasangka dan stereotype itu. Meski setiap individu memiliki kedua hal ini.

Lantas, solusi apa yang Anda tawarkan agar interaksi berjalan baik demi terwujudnya integrasi bangsa? Seringlah bergaul, bertemu via acara-acara yang digelar oleh masing-masing etnik. Dari sumber saya dalam penelitian, kedua etnik sebagian ada yang saling berkunjung saat ada hari-hari besar keduanya. Jadi, hilangkan prasangka dan stereotype melalui interaksi. Maka lambat laun saling mengenal.

Apa harapan etnik Tionghoa ini? Mereka ingin diakui seutuhnya sebagai masyarakat Makassar, tidak setengah-setengah. Meski berbeda etnik, tapi ingin membangun Indonesia, khususnya Makassar. *

No comments: