Tuesday, March 18, 2008

PENGHAMBAT KEMAJUAN JEMAAT

PENGHAMBAT KEMAJUAN JEMAAT
Oleh
I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA.
Diaken pada (GKPB: Gereja Kristen Protestan di Bali) Jemaat Kudus Sading
Dosen Tetap STIM Dhyana Pura
http://www.raiutama.multiply.com



Jika kita ditanya tentang dedominasi Gereja kita oleh teman dari kota-kota besar atau dari luar negeri, secara tidak sadar kita sering menjawab bahwa kita ikut di gereja tertentu atau bahkan dengan tidak malu kita juga sering menyebut gereja tradisional.

Untuk menjawab, apakah kita berasal dari golongan tradisional atau modern amatlah sulit untuk menggolongkannya. Namun berkaitan dengan masyarakat tradisional ada beberapa CIRI-CIRI yang dapat dipakai sebagai indikator ke-tradisionalan tersebut dan biasanya berkaitan dengan sikap manusia sebagai menghambat jalannya proses kemajuan disebut masyarakat tradisional.

Menurut Sosiolog Everet Roger, ada 10 ciri sikap masyarakat tradisional yang sangat tidak mendukung menuju kemajuan, diantaranya adalah:

1. Kurang bisa saling mempercayai satu sama lainnya.
Mungkinkah diantara kita warga jemaat, atau mungkinkah diantara kita majelis jemaat, atau para pendeta kurang bisa saling mempercayai satu sama lainnya? Jika ciri ini tampak dominan, maka tidak salah apa yang menjadi persepsi kita, bahwa gereja kita adalah gereja yang tradisional memang benar.

2. Kurang daya inovasi dan kreativitas
Dengan memikul tema “Gereja yang Hidup” seharusnya dalam kehidupan bergereja warga jemaatnya terus berinovasi dan kreativ dalam segala hal, artinya dalam aplikasi tema tersebut, tidak harus menunggu komando dari Sinode. Jika ciri ini juga dominan masih nampak di jemaat kita, maka persepsi kita, bahwa gereja kita adalah gereja yang tradisional memang tidak salah.

3. Sangat mudah pasrah dan cepat putus asa
Mungkinkah jika kita berdoa atau mendoakan saudara kita yang sakit, tanpa tidak sadar kita ingin sekali memaksakan keinginan kita agar doa kita cepat terjawab dengan hanya dua atau tigakali berdoa saja. Jika doa-doa kita tidak terjawab dalam waktu singkat, dengan tidak merasa bersalah kita menuduh Tuhan tidak berpihak pada kita atau lebih buruk lagi, kita menuduh bahwa saudara kita yang sakit tersebut teramat besar dosanya. Jika ciri-ciri ini juga dominan, kita masih tradisional.

4. Memiliki tingkat aspirasi yang amat rendah
Tingkat aspirasi yang paling nyata, misalnya memberikan saran-saran yang baik dan membangun pada saat rapat jemaat, sidang sinode, atau sidang-sidang yang lainnya. Tidak terlalu cepat untuk mengkritik, namun lambat untuk memberikan solusi. Jika ciri-ciri ini dapat ditunjukkan secara dominan oleh warga jemaat, sebenarnya kita sudah memegang sebuah ciri-ciri menuju jemaat modern.

5. Ingin selalu cepat mendapatkan hasil
Mungkinkah diantara kita, jika merencanakan sesuatu selalu ingin instan atau cepat beres. Misalnya saja, disaat kita merencanakan pembangunan ruang serba guna untuk aktivitas anak-anak sekolah minggu, dalam waktu tiga bulan harus sudah rampung tanpa mempertimbangkan kemampuan dana dan pada akhirnya kita mengharapkan dana dari jemaat lain, dan mungkin juga kita tidak pernah mempertimbangkan jemaat lainpun mungkin mempunyai rencana yang sama. Jika ciri-ciri ini juga dominan, kita masih tradisonal.

6. Berpikir sempit
Adakah diantara kita masih berpikir, aku warga asli, kamu warga pendatang dan sejenisnya. Sebenarnya tidak ada sebutan warga asli atau warga pendatang dalam kamus ke-Kristenan, karena Injil diperintahkan untuk ditaburkan di seluruh muka bumi ini. Artinya, jika kita masih berpikir seperti ini, maka tidak salah orang lain mempunyai persepsi bahwa kita masih tradisional.

7. Familisme sangat kental
Dalam memberikan pertolongan: misalnya peluang pekerjaan, beasiswa atau sejenisnya, beberapa diantara kita masih berpikir, keluarganya siapa, anaknya siapa, atau pertanyaan sejenisnya. Jika ini masih ditunjukkan oleh kebanyakan jemaat kita, maka lagi-lagi kita kehilangan ciri-ciri ke-modernan tersebut.

8. Sangat tergantung pada pemerintah
Mungkinkah seorang pendeta yang melayani di jemaat-jemaat sangat tergantung pada Struktur secara sinodal, sehingga seolah-olah pendeta menjadi perpanjangan tangan MSH? Jika ini yang terjadi maka kiprah seorang pendeta menjadi tidak begitu dekat pada jemaatnya, dan mungkin lebih takut pada MSH ketimbang takut pada tanggungjawab pelayanannya di jemaatnya. Jika ciri-ciri ini ditunjukkan secara dominan oleh kita, maka kita sebenarnya masih sangat tradisional.

9. Susah memisahkan diri dengan suasana atau situasi di tempat asalnya
“Makan tidak makan pokoknya kumpul” adalah sebuah ungkapan kuno masyarakat Jawa tempo dulu sebelum program transmigrasi ditawarkan oleh pemerintah. Jika ini juga masih dianut oleh beberapa diantara kita, misalnya ada seorang pendeta yang menolak ditugaskan di sebuah desa terpencil dengan alasan anak-anak, istri dan mungkin sudah punya rumah permanen dan megah di kota besar menolak tugas panggilan tersebut, maka lagi-lagi sebutan tradisional tersebut masih layak kita sandang.

10. Tidak mampu menempatkan diri sebagai orang lain
Ciri yang terakhir ini sebenarnya sebuah penyangkalan diri yang paling sederhana, Jika kita ingin diberi, berilah orang lain terlebih dahulu. Jika kita ingin dihormati, hormati orang lain terlebih dahulu. Jika ciri-ciri ini dapat kita tunjukkan di setiap komunitas gereja kita, maka sebenarnya kita telah membuang balok penghalang untuk menuju masyarakat modern.

Penulis tidak ingin menggeneralisasi bahwa jemaat kita masih bersikap tradisional, namun tulisan ini akan menjadi wacana introspeksi menuju Jemaat modern.

No comments: