Tuesday, March 18, 2008

Transformasi Tradisi - Sebuah Otokritik Orang Toraja

Transformasi Tradisi
Sebuah Otokritik Orang Toraja

Subhan SD - Kompas Senin, 22 Januari 2007

Cara orang Toraja mewarisi tradisi leluhur sungguh luar biasa. Pesona ritus rambu tuka’ dan rambu solo’ yang sakral, atraktif, dan kolosal mampu menyedot perhatian dunia. Namun, ritus itu dinilai terlalu banyak menguras biaya.

Dalam sistem kepercayaan asli Aluk Todolo (agama leluhur), ritus orang Toraja dikelompokkan dalam dua jenis, yakni rambu tuka’ dan rambu solo’. Rambu tuka’ berkaitan dengan upacara kehidupan, antara lain kelahiran, perkawinan, pesta panen, dan pesta sukacita. Ritus ini dilakukan pada saat matahari terbit hingga tengah hari (aluk rampe mataallo). Ritus ini berorientasi ke arah timur. Karena itu, dilaksanakan di sebelah timur tongkonan (rumah adat). Rambu solo’ merupakan upacara yang terkait dengan kematian. Ritus ini mengikuti aturan upacara pada sore hari (aluk rampe matampu). Upacara yang umumnya prosesi penguburan ini dilaksanakan di sebelah barat tongkonan.

Ritus-ritus tersebut tidak hanya berdimensi religi, tetapi juga sosial. Semakin tinggi tingkat stratifikasi sosial seseorang/keluarga, upacara itu makin lama (beberapa hari) dan banyak memotong kerbau. Dalam kepercayaan asli, kerbau dipercaya sebagai kendaraan arwah menuju alam arwah atau surga (puya). Selain bernilai materiil, kerbau juga bernilai religius. Tak heran upacara rapasan sapu randanan (yang digelar kelas bangsawan tinggi) bisa berlangsung minimal tujuh hari—bahkan hingga berbulan-bulan—dengan jumlah kerbau minimal 12 ekor. Karena itulah, tak perlu heran kalau upacara tersebut menyedot biaya yang besar, hingga miliaran rupiah.

Di Tanatoraja (Tator), cara pandang sosial terhadap upacara itu bukan dilihat dari jumlah uang yang dkeluarkan, tetapi jumlah kerbau yang dipotong. Sebab, dari jumlah kerbau itulah orang bisa mengetahui status sosial keluarga yang menyelenggarakan upacara tersebut. Di Pasar Hewan Bolu, Rantepao, harga kerbau umur 3-4 tahun Rp 5 juta-Rp 10 juta per ekor. Namun, di Tator ada kerbau yang khas, yaitu kerbau belang (tedong bulen). Kerbau jenis ini harganya sangat mahal, bisa mencapai ratusan juta rupiah per ekor.

Siri’ mate

Struktur sosial masyarakat dalam sistem agama leluhur mengenal ketentuan potong kerbau, seperti 6 ekor, 8 ekor, dan 12 ekor. Akan tetapi, menurut Nico B Pasaka, tokoh Toraja yang Ketua Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI), jumlahnya bisa lebih dari itu karena kadang-kadang jumlah kerbau yang dipotong—seperti disebutkan di atas—dianggap tidak cukup, terutama yang bernilai sosial. Misalnya, jumlah itu belum mencakup jatah untuk tempat ibadah atau jatah bagian pembangunan desa.

Cara menyelenggarakan upacara dan jumlah kerbau yang dipotong itu juga tak lepas dari kelas sosial. Dulu stratifikasi sosial didasarkan pada keturunan dan kedudukan. Dalam sistem pelapisan sosial, yang disebut tana’ (kasta) itu adalah tana’ bulaan (bangsawan tinggi, pemegang aturan dan pemimpin agama), tana’ bassi (bangsawan menengah), tana’ karurun (rakyat kebanyakan, orang-orang terampil), dan tana’ kua-kua (hamba pengabdi bangsawan).

Akan tetapi, makin lama kian terjadi perubahan. Kini strata sosial tidak lagi beralaskan sendi-sendi tradisional, seperti keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemapanan ekonomi. Tak mengherankan, banyak kelas rakyat kebanyakan yang dulunya mengabdi pada kaum bangsawan kini menggapai posisi sendiri dalam sistem strata sosial itu.

"Mereka yang dulunya belum memiliki apa-apa, kemudian berhasil dan ingin mengadakan upacara yang katakanlah 25 tahun lalu belum dilakukan karena memang baru punya duit sekarang," kata IY Panggalo, pengajar pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja.

Oleh karena itu, walaupun upacara itu menyedot banyak uang, orang Toraja tetap konsisten mempertahankan tradisinya. Terlebih lagi, dalam kepercayaan Aluk Todolo, hidup dan mati adalah peralihan dari alam fana menuju alam arwah (puya). Selama hidup, manusia bisa berbuat baik dan mengumpulkan harta sebagai bekal ke alam arwah.

Menurut Andi Fatwamaty Umar, dalam "Sejarah dan Budaya Toraja" (Toraja Dulu dan Kini, 2003), kesempurnaan upacara kematian dan status sosial dalam hidup akan menentukan posisi arwah, apakah sebagai bombo (arwah gentayangan), tomembali puang (arwah yang mencapai tingkat dewa), atau deata (dewa pelindung). Orang dianggap benar-benar mati setelah dilangsungkan upacara. "Kadang-kadang, kalau belum diupacarakan, dikatakan bombo-nya gentayangan," kata Panggalo.

Dalam konteks itulah upacara kematian menjadi "kewajiban" karena merupakan rasa malu atau harga diri yang disebut siri’ mate.

Menurut Prof C Salombe dalam "Siri dalam Masyarakat Toraja" (Siri’ dan Pesse’: Harga Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja; 2003), jenazah yang dikuburkan tanpa mengurbankan minimal satu kerbau dan beberapa babi dinilai siri’. Orang yang tidak diupacarakan dengan memotong hewan disebut todibaa bongi, yaitu orang yang jenazahnya dikubur pada malam-malam secara sembunyi-sembunyi.

Pergeseran makna

Karena sistem kepercayaan yang berkembang di dalam masyarakatnya, maka dengan cara apa pun orang Toraja hampir pasti akan mengadakan upacara, karena dengan begitulah mereka menjaga tradisinya.

Di sinilah persoalannya, orang Toraja dinilai terlalu mengurus hal-hal yang terkait dengan masa lalu. Dalam realitas seperti itulah kritik Jonathan L Parapak, Ketua Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PMTI), dalam acara "Toraya Mamali" (Rindu Toraja) bulan Oktober lalu sungguh menggelitik orang Toraja sendiri. Parapak menegaskan, dewasa ini Toraja sedang prihatin dengan kualitas sumber daya manusia yang dimiliknya. Salah satu faktor penyebabnya, katanya, orang Toraja terlalu banyak menguras energi untuk mempersoalkan masa lalu. Mereka terlalu banyak mengurusi soal pesta rambu tuka’ dan rambu solo’ sehingga kurang memberi ruang untuk masa depan, kurang peduli terhadap kondisi dan perkembangan di sekitarnya.

Otokritik itu seperti kian membuka mata banyak orang Toraja. Terlebih lagi, dari waktu ke waktu, sebagaimana dikatakan Panggalo, upacara-upacara tersebut juga telah mengalami pergeseran. "Memang jumlah kerbau itu sangat penting, tetapi tidak perlu sampai banyak sekali. Di dalam upacara rapasan sapu randanan saja jumlah kerbau menurut adat hanya 24 ekor. Nah, kalau sekarang jumlahnya semakin banyak, itu terjadi pergeseran," katanya.

Menurut Panggalo, pergeseran itu mulai terjadi pada dekade 1960-an dan semakin mencolok pada tahun 1980-an di zaman Orde Baru tatkala kondisi ekonomi relatif stabil. Ketika itu, banyak orang Toraja (perantauan) yang berhasil secara ekonomi maupun sosial melakukan upacara adat dengan jumlah pemotongan kerbau yang banyak. Semakin banyak kerbau yang disembelih, semakin kuat dalam konteks pengakuan sosial. Hal itulah yang justru membawa dampak negatif, antara lain terjadinya persaingan tak sehat. Mereka terkesan berlomba-lomba dalam hal jumlah kerbau yang dipotong.

"Kalau sudah berhasil, sudah kaya, sudah berhasil dalam pendidikan, malah kemudian bersaing dengan saudaranya, dengan tetangganya. Jadi, terjadi kompetisi tidak sehat. Harusnya kan yang wajar-wajar saja, misalnya potong kerbau 15 ekor, tak perlu lebih banyak lagi," kata Nico Pasaka.

Tradisi penguburan yang amat menarik di Tator ternyata memang sangat mahal. Lelaki 60 tahun itu mencontohkan, untuk membuat liang kubur di tebing batu tersebut perlu biaya Rp 60 juta dan bayar tenaga ahli pembuat liang itu sekitar Rp 25 juta—untuk pekerjaan sekitar setahun.

Generasi muda kini melihat masalah ini lebih realistis. "Kalau dalam upacara adat itu, uang memang dihabiskan dalam beberapa hari. Sebetulnya tindakan tersebut merupakan pemborosan. Apalagi buat kami generasi muda, hal itu kurang baik. Karena, untuk upacara adat itu, (yang tidak punya) pasti berutang. Kalau tak bisa bayar, nanti anak cucu kita yang menanggung," kara Randy, pemuda Toraja yang ditemui di Londa.

Proporsional

Namun, mengikis ritus yang justru menjadi salah satu daya tarik Tator itu bukan perkara mudah. Apalagi menyangkut sistem kepercayaan yang hidup sejak abad ke-9, yang diyakini diturunkan oleh Puang Matua (Sang Pencipta). Meski demikian, sekarang orang Toraja sudah mulai berupaya memodifikasi tradisi itu dalam konteks kekinian, yaitu bagaimana mengadopsi nilai-nilai lama itu ke dalam realitas sosial saat ini.

"Sebetulnya transformasi budaya sudah terjadi sejak lama, tetapi nilai-nilai etnis tidak bisa dilupakan karena ada aspek harga diri dalam arti positif, ada pride (kebanggaan). Bagaimana pun modernnya, orang Toraja tetap masih terkait dengan leluhur. Budaya saat ini merupakan warisan nenek moyang kita dan tentunya kita akan mengadopsi dengan nilai-nilai yang relevan, tidak akan menghilangkan nilai-nilai dasar. Kita bisa belajar dari Jepang yang sangat konsisten dengan budayanya," kata Nico yang juga Ketua Association of the Indonesian Tour and Travel Agencies (Asita) Sulawesi Selatan.

Oleh karena itu, untuk transformasi tradisi, kata Panggalo, diperlukan otokritik. Panggalo mencontohkan, saat ini sudah banyak orang Toraja yang berani melakukan upacara secara sederhana. Misalnya, cukup memotong beberapa kerbau dan justru membagikan uang tunai secara langsung kepada masyarakat untuk kepentingan pembangunan.

Panggalo mencontohkan acara yang digelar Komisaris Jenderal Insmerda Lebang, penggagas acara "Toraya Mamali", saat mengupacarakan mendiang sang ayah, Kolonel (Pol) Ernst Lebang. "Pak Lebang melakukan upacara orangtuanya sederhana sekali. Saya dengar, cuma memotong tiga kerbau dan uang yang harusnya dibelikan banyak kerbau malah langsung diberikan untuk pembangunan desa dan masyarakat. Ini merupakan reformasi total yang berani," kata Panggalo.

Pihak gereja sendiri, tambah pendeta yang menjabat Sekretaris Umum Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja itu, berupaya agar transformasi tersebut bisa berlangsung. Dengan catatan, tidak menghilangkan adat istiadat, sekaligus masa depan tidak terganggu. Bahkan, di masa silam gereja juga sempat melarang upacara rambu tuka’ karena dinilai sebagai pemujaan terhadap dewa-dewa.

No comments: