Friday, May 2, 2008

Kenaikan Yesus Kristus

Penulis : Mangapul Sagala

Kelihatannya, kisah kenaikan Yesus Kristus tidak dilihat begitu penting sebagaimana kisah kematian dan kebangkitanNya. Hal itu bisa dilihat dari sikap umat untuk menyikapinya. Kelihatannya, sepi saja. Syukur di berbagai negara, seperti Indonesia hal itu masih diperingati dan dijadikan hari libur nasional. Lain halnya di Singapura. Hari kenaikan tersebut bukan hari libur. Itulah sebabnya, kantor-kantor dibuka seperti biasanya. Sebagian theolog memang melihat hari kenaikan tersebut tidak begitu penting. Bahkan ada yang meragukan dan menolak peristiwa tsb dan menganggapnya hanya sebagai karangan dan dongeng dari Gereja mula-mula. Apa alasan mereka? Tentu ada, dan mungkin banyak; antara lain, mereka mengatakan bahwa hal itu tidak ditemukan secara jelas tertulis dalam keempat Injil.

Lalu apa dasarnya menerima dan mempercayai hari kenaikan tersebut? Sebenarnya, jika mau mempercayainya, ada satu bagian Alkitab yang sangat jelas menuliskan kisah tsb. Dokter Lukas dengan sangat jelas dan cukup detail menuliskan kisah tersebut pada volume kedua dari tulisannya, yaitu pada Kisah Para Rasul 1:6-11.

Berdasarkan kisah tersebut di atas, kita dapat belajar beberapa hal penting.

Pertama, kenaikan Yesus tsb menegaskan akan fakta kebangkitanNya.

Dengan sangat jelas dokter Lukas menuliskan bahwa kenaikan Tuhan Yesus tersebut merupakan satu kesatuan dengan kematian dan kebangkitanNya. Hal itulah yang ditulisnya, menjadi latar belakang dari kisah kenaikan tersebut. Menarik sekali bagaimana dokter Lukas memulai kitab Kisah Para Rasul tsb. Dia menulis: “Hai Teofilus, dalam bukuku yang pertama aku menulis tentang segala sesuatu yang dikerjakan dan diajarkan Yesus, sampai pada hari Ia terangkat (1:1-2). Jadi, dokter Lukas tidak hanya menulis pende ritaan, kematian dan kebangkitan Yesus, tetapi SAMPAI PADA HARI IA TERANGKAT. Dalam ayat berikutnya kita membaca bagaimana kisah kebangkitan Yesus merupakan satu fakta sejarah, dan bukan ilusi semata. Hal itu dengan jelas dinyatakan dengan pembuktian Yesus sendiri bahwa Dia hidup. Hal itu juga menjadi sorotan dokter Lukas, seolah-olah dia sedang mengantisipasi adanya orang-orang yang meragukan dan menolak kebangkitan tsb. “Kepada mereka Ia menunjukkan diri-Nya setelah penderitaan-Nya selesai, dan dengan banyak tanda Ia MEMBUKTIKAN, bahwa IA HIDUP. Sebab selama empat puluh hari Ia berulang-ulang menampakkan diri dan berbicara kepada mereka tentang Kerajaan Allah. (3). Penampakan diri dalam waktu yang cukup lama, yaitu selama 40 hari dan kepada orang yang berbeda-beda, tentu jauh dari tuduhan sementara orang, bahwa itu ad alah halusinasi. Dengan demikian, kita melihat bahwa kenaikan Yesus tersebut menjadi PEMBUKTIAN selanjutnya bahwa Yesus yang mati itu, benar-benar telah bangkit; karena hanya orang yang sudah bangkitlah dapat naik ke surga. Tanpa kebangkitan tidak akan pernah ada kenaikan. Jadi, Yesus bukan saja bangkit dari kubur, sesuatu yang belum dimiliki oleh pendiri-pendiri agama lain. Tapi lebih dari situ, Dia juga telah naik ke surga. Dia naik melampaui segala sesuatu. Dengan demikian, apa yang diberitakanNya selama 40 hari secara terus menerus, yaitu tentang KERAJAAN ALLAH, bukanlah sebuah ilusi atau impian semata. Dalam kenyataannya, apa yang Dia khotbah tersebut, sebentar lagi, Dia akan dan sedang menuju ke sana.

Kedua, kisah kenaikan tsb menunjukkan betapa pentingnya tugas memberitakan Injil.

Hal itu terlihat dengan sangat jelas di dalam cara dan metode penulisan Lukas tsb. Di dalam ayat 9 kita membaca: “Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutupNya dari pandangan mereka”. Jadi, kita membaca bahwa Tuhan Yesus terangkat “sesudah Ia mengatakan demikian”. Mengatakan apa? Jawabnya ada pada ayat 8: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi SAKSIKU di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Dengan perkataan lain, pesan atau perintah terakhir yang diberikan oleh Tuhan Yesus SEBELUM kenaikanNya ke surga adalah agar menjadi saksiNya. Hal itu dimulai dari tempat di mana mereka berada (Yerusalem), meluas ke seluruh propinsi ( Judea) hingga seluruh bumi. Penting untuk diamati bahwa kota Samaria, yang biasanya dihindari oleh orang-orang Yahudi juga disebut. Dengan demikian, tidak ada daerah atau kota di mana Injil tidak diberitakan. Jadi, dari hal di atas kita melihat bahwa penginjilan bukan sesuatu yang boleh ada atau tidak. Tugas memberitakan Injil diberikan oleh Yesus sebagai sebuah KEHARUSAN. Hal itu juga yang pernah ditegaskan oleh salah seorang rasul besar bernama Paulus. “Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil” (1Kor.9:16b).

Kiranya kenyataan tsb cukup bagi kita untuk menyingkirkan segala teori dan usaha untuk mengurangi semangat kita untuk memberitakan Injil. Kiranya perintah Tuhan Yesus tsb yang diberikan PERSIS SEBELUM kenaikanNya ke surga kita nilai dan sikapi SEMAKIN SERIUS. Dengan demikian, dengan segala doa, dana dan daya, kita kerahkan untuk meresponi perintah tsb. Jika kita amati pasal-pasal berikutnya, memang kita melihat bagaimana rasul-rasul dan orang percaya sangat serius melakukan tugas penginjilan tsb. Karena itulah kita dapat membaca statistik Lukas mengenai pertumbuhan Gereja yang sedemikian pesat. Lukas memulai dengan 120 orang (Kis.1:15), selanjutnya sebagai hasil KKR (kebaktian kebanguna rohani) yang dipimpin rasul Petrus, jemaat menjadi 3000 (tiga ri bu) jiwa (2:41). Jumlah tsb meningkat lagi secara tajam menjadi “kira-kira 5000 (lima ribu) orang LAKI-LAKI” (4:4). Jadi, jumlah besar tsb, belum termasuk perempuan. Pertumbuhan jemaat terus terjadi. Karena itu, rupanya, dokter Lukas kewalahan untuk memberikan statistik detail. Itulah sebabnya, jumlah angka yang jelas, terakhir kita temukan pada Kisah 4 tsb, di mana selanjutnya dokter Lukas menggunakan istilah “jumlah murid makin bertambah” (6:1)

Selanjutnya, dari kisah tersebut di atas, kita perlu mewaspadai dua hal. Pertama, kita membaca satu PEERTANYAAN ANEH yang diberikan kepada Yesus. "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" (6). Pertanyaan tersebut diberikan bukan pada awal pelayanan Yesus, tetapi justru di akhir, yaitu pada saat-saat terakhir di mana kenaikan Yesus tinggal dalam hitungan detik. Apakah yang ada dalam pikiran orang banyak ketika itu? Soal pemulihan KERAJAAN ISRAEL! Bukan soal KERAJAAN ALLAH, sebagaimana hal itu terus menerus ditegaskan dan ditekankan Yesus selama sisa 40 (empat puluh) hari Dia tinggal di dunia. Sungguh menyedihkan. Dengan perkataan lain, orang yang berkumpul di situ hingga detik terakhir mereka bersama Yesus masih terus mener us berpusat kepada hal-hal duniawi, bukan kepada hal-hal surgawi. Itulah sebabnya kemudian Tuhan Yesus menegur mereka dan untuk saat terakhir kembali mengarahkan hati dan pikiran mereka kepada KERAJAAN ALLAH, yaitu untuk memberitakan Injil (8).

Hal tersebut juga menjadi pelajaran dan koreksi bagi kita agar kita memeriksa diri kita masing-masing. Setelah kita mengenal Tuhan Yesus dan mendengar segala pengajaranNya, sejauh mana hati dan pikiran kita semakin menyatu dengan visi dan ambisi ilahi. Sejauh mana hati kita bersemangat serta berkobar-kobar dalam hal PENGGENAPAN KERAJAAN ALLAH tsb. Apakah doa, dana dan diri kita sudah semakin terpusat untuk hal tsb? Jika ternyata, kita masih memiliki ambisi2 duniawi bahkan semakin dikuasai oleh ambisi-ambisi demikian, biarlah kita dengan segera membuang dan meninggalkan itu dan dengan segala kerendahan hati memohon rahmatNya agar RohNya bekerja menguasai diri kita untuk hidup menjadi saksiNya (8).

Hal kedua yang perlu kita waspadai adalah SIKAP ANEH yang ditunjukkan oleh umat di ayat 10. “Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka”. Apa maksud ayat tsb? Di sana firman Tuhan mencatat bahwa mereka yang berkumpul ketika itu “sedang menatap ke langit” (kai hos atenizontes esan eis ton ouranon).

Barangkali ada yang bertanya: “Apa salahnya menatap ke langit? Bukankah itu mencerminkan kekaguman mereka kepada Yesus, Tuhan mereka? Bukankah itu juga mencerminkan kerinduan mereka kepada Yesus, di mana mereka ingin terus bersama-sama dengan Tuhannya? Jika itu yang menjadi pertanyaan kita, maka ternyata hal itu adalah sala2h. Salah bukan menurut saya, tetapi menurut Tuhan. Setidaknya hal itu kita lihat dengan jelas dari kisah tsb. Kita melihat dii sana bahwa Tuhan ‘terpaksa’ harus mengutus “dua orang yang berpakai n putih” untuk menegur mereka dan berkata: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga." (11).

Sebenarnya, saya sependapat bahwa tidak salah mengagumi dan merindukan kebersamaan dengan Yesus. Saya justru melihat bahwa hal itu harus kita lakukan dan kita tumbuh kembangkan. Kita jangan menjadi orang yang cuek dan tidak perduli kepada Yesus yang telah sedemikian baik dan berbuat segalanya bagi kita. Jangan juga kita biarkan hati ki369dingin dan membeku sehingga tidak bergairah dan tidak merindukan Yesus. Saya melihat bahwa yang menjadi masalah adalah ketika mereka terus menerus mengagumi dan merindukan Yesus dengan “menatap ke langit”, sedemikian rupa, sehingga mereka melupakan tugas yang telah diberikan kepada mereka, yaitu untuk pergi segera. Pergi bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk bersaksi bagi Dia, yang mereka kagumi tsb. Bersaksi untuk memberitakan KERAJAAN ALLAH di Yerusalem, seluruh Judea dan Samaria... sampai ke ujung bumi. Itulah sebabnya kedua orang utusan tsb harus turun dan ‘mengusir’ mereka dari bukit kemuliaan, yaitu tempat Yesus naik ke surga tsb.

Jadi, ada dua hal yang harus kita waspadai. Pertama, agar kita jangan hidup ‘terlalu’ duniawi, sehingga kita hanya memikirkan kerajaan duniawi, yaitu pemulihan ‘kerajaan-kerajaan’ kita. Terus berpikir dan bertanya tentang pekerjaan kita, business kita, sehingga kita lupa akan Kerajaan Allah. Kedua, agar kita jangan hidup ‘terlalu’ rohani, dengan terus menerus memandang ke langit. Terus menerus beribadah, dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah yang lain; sedemikian rupa, sehingga kita melupakan tugas kita untuk bersaksi bagi dunia, untuk terlibat di dalam dunia, melakukan segala sesuatu secara kongkrit, demi pemulihan dunia ini.-

Selamat memperingati dan merayakan hari kenaikan Kristus!

Wednesday, April 23, 2008

KATEDRAL SANG JANDA

KATEDRAL SANG JANDA
Bacaan : Matius 6:1-4

1"Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.

Seorang raja membangun katedral, namun tidak menghendaki siapa pun memberikan sumbangan. Ia ingin dikenang sebagai pembangun tunggal katedral itu. Begitulah. Katedral itu berdiri dengan sebuah plakat yang menyatakan bahwa sang raja adalah pembangunnya.

Namun, suatu malam sang raja bermimpi. Seorang malaikat menghapus plakat itu dan menuliskan nama seorang janda miskin untuk mengganti namanya. Mimpi itu terulang dua kali. Saat terbangun, raja segera memerintahkan agar janda itu dipanggil untuk memberikan penjelasan. Dengan gemetar janda itu berkata, "Paduka, hamba sangat mengasihi Tuhan dan sangat ingin terlibat dalam pembangunan katedral ini. Namun, karena rakyat dilarang memberi bantuan apa pun, saya hanya menyediakan jerami untuk kuda yang mengangkut batu-batuan."

Kisah di atas menggambarkan motivasi orang dalam memberikan persembahan. Ada yang memberi demi unjuk kedermawanan, agar tidak disebut orang kaya yang kikir. Ada pula yang memberi supaya dapat mengontrol gereja dan hamba Tuhan. Orang-orang seperti itu, menurut Yesus, sudah menerima upahnya (ayat 2).

Si ibu janda mewakili orang yang memberi berdasarkan kasih, bahkan dengan pengorbanan. Kalau ia didakwa melanggar perintah raja, bukankah ia mesti menanggung hukuman? Meski tampak remeh dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, pemberiannya juga sangat menentukan keberhasilan pembangunan katedral tersebut. Mari kita melihat kembali motivasi kita dalam memberi persembahan. Apakah kita bersikap seperti sang raja? Atau, seperti si janda miskin? -ARS

PERSEMBAHAN KITA DITAKAR BUKAN BERDASAR JUMLAHNYA
TETAPI BERDASAR KASIH DAN PENGORBANAN YANG MENYERTAINYA
" (Yohanes 1:41)

Monday, April 14, 2008

DIAKONIA YANG MEMBEBASKAN
(Pa’kamayan melendokan)


Pembacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 3:1-10

Pokok bahasan: Diakonia, bukan untuk menciptakan ketergantungan melainkan untuk memberdayakan dan membebaskan.

Pemahaman Teks (untuk Persiapan Pengkhotbah)
Babak baru dalam riwayat para murid Yesus ditandai dengan perubahan-perubahan besar dan mendasar dalam diri murid-murid. Mereka tidak lagi mengandalkan diri, tidak ada lagi keputusasaan dan masa bodoh. Para penakut itu telah berubah menjadi pemberani dalam bersaksi tentang Kristus. Pekerjaaan mereka pun terus ditandai dengan perkara-perkara luar biasa dan kasat mata.
Perikop ini menceriterakan salah satu peristiwa besar itu. Seorang yang lumpuh sejak lahir memperoleh kesembuhan secara luar biasa: kesembuhan lahir batin, fisik dan rohani.

Penuturan secara rinci mengenai waktu (ay. 1 - … menjelang waktu sembahyang, pukul tiga petang…) dan tempat (ay. 2 – ‘..pintu gerbang..’). Keterangan ini sekaligus menunjukkan bahwa kejadian itu terjadi di depan orang banyak (ay. 9), dan di hadapan orang-orang Yahudi yang setia pada tradisi-tradisi agama, termasuk berdoa tiga kali sehari (lihat Kis. 2:15 mengenai doa pada jam 9 pagi, Kis. 10:9 mengenai doa pada pukul 12 siang, dan Mzm. 55:17).

Kebiasaan memberi sedekah kepada orang miskin adalah salah satu kebanggaan orang Yahudi. Kebiasaan itu bahkan menjadi salah satu indikator kesalehan yang kadang-kadang menyebabkan kesalehan berubah menjadi kesombongan rohani.
Dalam konteks kesetiaan beragama orang Yahudi, jelas peristi-wa penyembuhan orang lumpuh ini dapat dipahami sebagai cara Allah melalui para rasul menyoroti kehidupan keagamaan orang Yahudi, dan menyatakan karya-Nya yang menyalematkan orang-orang yang sebe-lumnya hanya menjadi objek pelayanan yang amat terbatas manfaat-nya. Pelayanan dalam tradisi Yahudi memenuhi kebutuhan terbatas dari orang-orang tak berdaya, bahkan pelayanan itu telah menciptakan ketergantungan serta keterikatan si lumpuh pada materi atau kebutuhan fisik saja. Ia telah menjadi peminta-minta yang dimanjakan oleh tradisi agama yang tidak membebaskan (ay. 2 dan 3). Hati dan pikirannya diisi dengan pengalaman meminta dan menerima sedekah. Ia tidak bisa lagi melihat kemungkinan lain, selain dari mengharap sesuatu diberikan langsung kepadanya (ay. 5).

Gerbang Indah (pintu masuk ke Bait Allah zaman Herodes = Batas antara pintu masuk Bait Allah dengan halaman para perempuan Israel), seakan-akan menjadi satu-satunya ”lahan” seumur hidup yang dimilikinya.
Perkataan dan tindakan Petrus menyatakan dan membuka kemungkinan baru bagi orang itu. Tidak ada materi, tetapi ada kuasa Yesus melalui iman (ay. 6), dan ada belas kasih dan tangan yang penuh kasih memberi sokongan dan bantuan untuk kesembuhan (ay. 7). Dari pihak si lumpuh hanya ada iman yang tak terkatakan. Kesediaannya menerima perkataan dan uluran tangan Petrus menjadi tanda adanya iman dan pengharapan. Ia tidak menjadikan kelumpuhan sejak lahir sebagi alasan untuk menolak.

Demikianlah Petrus menunjukkan bagaimana seharusnya pelayanan (diakonia) dikerjakan oleh orang-orang yang mengikut Kristus. Pelayanan itu harus menyentuh kebutuhan yang paling mendasar, kebutuhan untuk bebas, untuk bangkit dari kelumpuhan, untuk bersukaria dan leluasa memuliakan Tuhan dan memuji karya-Nya (ay. 7-8). Ketiadaan harta bukanlah hambatan. Kelumpuhan sejak lahir juga bukan tantangan yang tak bisa diatasi.



Renungan untuk Persiapan Pengkhotbah

Lumpuh total berarti secara lahir dan batin tidak bisa beranjak dengan kehendak dan kemampuan sendiri. Maka, sesungguhnya tidak ada kelumpuhan total sejak lahir. Yang ada hanyalah kelumpuhan fisik sejak lahir. Kelumpuhan dapat diatasi oleh karena Allah berkuasa menyatakan karya-Nya secara bebas dan tanpa batas. Seorang dapat menyaksikan dan mengalaminya kalau ia percaya. Kalau kelumpuhan saja dapat diatasi, maka pelayanan Kristen (diakonia) harusnya berlangsung dalam keyakinan bahwa setiap orang dapat dibebaskan dari segala bentuk penyebab ketidakberdayaan.

Pokok-pokok yang dapat Dikembangkan dalam Khotbah

Manusia Beban ...

Memanjakan adalah sikap yang tidak menjadikan seseorang atau sekelompok orang untuk mandiri (coba bandingkan dengan anak-anak yang selalu dimanjakan orangtuanya). Manusia beban dapat terbentuk dan mulai terpola dari lingkup kelompok yang terkecil yaitu keluarga, ketika sejak lahir sampai menikah pun masih berada di bawah tanggu-ngan orangtua (bukankah umur 17 tahun sudah dihitung sebagai orang dewasa?). Akibat lanjutannya, terciptalah pola manusia beban dalam masyarakat secara umum. {Patut direnungkan: jangan-jangan negara pun ikut-ikutan menciptakan manusia beban, antara lain melalui kebijakan kompensasi BBM, beras miskin (Raskin), Asuransi Keseha-tan Miskin (Askeskin). Jangan-jangan bantuan melalui pelayanan diakonia turun-temurun juga ikut menciptakan manusia bermental manusia beban. Sebab ternyata orang tidak miskin pun mengaku sebagai orang miskin hanya karena ada pembagian Raskin atau Askeskin.

Methode Diakonia...

Si lumpuh membutuhkan sedekah, tetapi kebutuhannya lebih dari itu. Apapun bentuk sedekah yang diberikan, termasuk emas dan perak, tidak akan memberi kesembuhan. Berapa banyakpun uang yang diberikan kepada orang lumpuh, tetap saja ia lumpuh. Tak ada sede-kah yang dapat mengubah hidupnya. Sedekah hanya menempatkan hidup si lumpuh dalam rutinitas meminta dan menerima.
Diakonia yang dilayankan oleh Petrus adalah diakonia yang mengantar si lumpuh melihat dan mengalami kemungkinan baru yang lebih baik. Bukan dengan uang, melainkan dengan iman dan kasih yang melayani, menguatkan dan selanjutnya membebaskan.
Pelayanan diakonia harus menuntun pada iman yang di dalamnya karya pembebasan Allah menjadi nyata. Kalau itu terjadi, maka nama Tuhanlah yang dipuji, bukan nama orang-orang yang memberi sedekah. Diakonia seharusnya mengubah orang sakit yang hanya bisa meminta-menita (tergantung) menjadi orang sembuh yang leluasa memuji Allah. Diakonia seharusnya mengubah manusia beban menjadi manusia yang selalu terbebani untuk menolong (Luk. 6:38; Kis. 20:35).

Usul Ilustrasi

Suatu kali malaikat berkata, ”Semasa hidupmu kamu selalu duduk mengemis di depan pintu gerbang Gereja atau tempat ibadah lainnya, apa maksudmu?” Dengan santai ia menjawab, ”Orang yang mau masuk beribadah kan pastilah orang yang mau menjalin hubungan yang baik dengan Allah. Sudah tentu, sebelum atau setelah ibadah, kasih itu sudah harus diaplikasikan dalam hubungan dengan sesama manusia, ya .. seperti kami, kami inilah.” Malaikat bertanya lagi, ”lalu apakah terwujud yang kau harapkan?” Sang pengemis pun menjawab, ”Ya...., tidak semua sih begitu. Jangankan memberi, ada juga yang malah menghina kami dengan mengungkapkan kemis-kinannya. Kasih itu hanya di bibir mereka saja.” Dengan sinis ma-laekat menimpali ”Ya kamu sih yang salah alamat, masa mengemis kepada sesama pengemis.”


*****

Wednesday, March 26, 2008

7 Kiat Bekerja Menurut Amsal Salomo



1. Andalkan Tuhan
Amsal 3:5-6 berkata, "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu". Sertakan Tuhan di dalam segenap pekerjaanmu karena banyak yang harus kita kerjakan tetapi tidak diajarkan di bangku sekolah dan banyak yang terjadi yang tidak pernah kita duga sebelumnya.


2. Carilah Pengetahuan Ilmu pengetahuan

Cara bekerja yang benar & efisien perlu kita cari. Amsal 19:2 berkata, "Tanpa pengetahuan, keraji! nan pun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah". Jangan sungkan belajar dan meminta petunjuk jika tidak mengerti. Amsal 19:20 berkata, "Dengarkanlah nasihat dan terimalah didikan, supaya engkau menjadi bijak di masa depan".

3. Rajin dan Cekatan
Hanya orang rajin dan cekatan yang akan diingat oleh pimpinannya, terutama waktu menetapkan promosi jabatan & kenaikan gaji. Amsal 10:4 berkata, "Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya". Dan Amsal 14:23 berkata, "Dalam tiap jerih payah ada keuntungan, tetapi kata-kata belaka mendatangkan kekurangan saja."

4. Berlakulah Jujur dan Benar
Amsal 16:8 berkata, "Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran, daripada penghasilan banyak tanpa keadilan". Dan Amsal 10:9 ! berkata, "Siapa bersih kelakuannya, aman jalannya, tetapi siapa berliku-liku jalannya, akan diketahui ". Renungkan juga Amsal 10:16, "Upah pekerjaan orang benar membawa kepada kehidupan, penghasilan orang fasik membawa kepada dosa."

5. Jaga Mulut
Mengerjakan tugas-tugas adalah suatu pekerjaan yang berat, jangan ditambahi lagi dengan masalah lain karena mulut kita yang bocor. Amsal 21:23 berkata, "Siapa yang memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri daripada kesukaran". Dan Amsal 10:19 berkata, "Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal bud2i."

6. Sabar dan Tenang
Amsal 16:32 berkata, "Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang merebut kota". Dan Amsal 14:30 menambahkan, "Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang."

7. Jangan Ingin Cepat Kaya
Menjadi kaya adalah impian kebanyakan orang dan sah-sah saja. Yang harus diperhatikan adalah : Menjadi kaya, bukanlah tujuan utama di dalam hidup ini. Ingin cepat kaya seringkali menjebak orang-orang ke dalam perbuatan yang berdosa. Menikmati hidup lebih penting dari menjadi kaya tetapi mempunyai banyak masalah. Renungkanlah Amsal 10:22, "Berkat Tuhan-lah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya," dan Amsal 13:11, Harta yang cepat diperoleh akan berkurang, tetapi siapa mengumpulkan sedikit demi sedikit, menjadi kaya."

disadur: www.sabda.org - artikel

Friday, March 21, 2008

Persembahan Yang Hidup

Persembahan Yang Hidup
Oleh: Manasje Korniawan


"Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah, itu adalah ibadahmu yang sejati." (Roma 12:1)

Ketika manusia pertama, Adam dan Hawa, jatuh kedalam dosa, terputus hubungan dengan Allah, mereka merasa malu karena melihat diri mereka telanjang, tanpa pakaian, kemuliaan yang menyelubungi tubuh mereka telah hilang. Dan sebagai gantinya, untuk menutupi tubuh, mereka memakai pakaian dari daun pohon ara (Kejadian 3:7).

Adam dan Hawa berusaha menutupi kesalahan, dosa, pemberontakan terhadap Allah, dengan usaha mereka sendiri, kebenaran mereka sendiri, pemikiran rasional, yang dapat diterima oleh akal manusia, pembenaran diri sendiri dan mencari kambing hitam ketimbang penyesalan.

Tetapi Allah penuh kasih karunia, Allah memiliki rencana jauh ke depan, untuk menarik manusia yang telah jatuh dalam dosa, agar dapat dipulihkan dan bersekutu kembali dengan Allah.Sebagai ganti daun ara, "Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka." (Kejadian 3:21)

Tentunya ada binatang yang dikorbankan, disembelih, untuk diambil kulitnya. Ada darah binatang yang tercurah untuk menutupi kesalahan, dosa manusia, dan untuk sementara waktu memperbaiki hubungan manusia dengan Allah.

Dasar inilah yang dipakai oleh manusia sepanjang sejarah umat manusia, mulai dari kepercayaan animisme, dinamisme, suku-suku primitif, untuk mengadakan upacara-upacara ritual pemujaan dan pengorbanan kepada penguasa alam, pohon, batu, laut, matahari, dan lain-lain.

Ada darah yang dipersembahkan, ada yang dikorbankan, baik itu binatang, bahkan yang lebih ekstrem, korban manusia, untuk menyenangkan penguasa alam semesta, agar tidak murka dan mendatangkan bencana, ataupun agar melimpahkan berkat, hasil panen yang berlimpah.

Dalam kitab Perjanjian Lama, secara terinci dituliskan peraturan-peraturan untuk mempersembahkan persembahan korban, yang harus dilakukan oleh umat Allah, untuk menghapus dosa dan kesalahan, untuk memperbaiki hubungan dengan Allah, persekutuan dengan Allah, serta menerima berkat-berkatNya. (Imamat pasal 1-7).

Binatang harus dikorbankan, disembelih, darahnya tercurah, sebagai pengganti/peghapus dosa, sebagai ungkapan syukur dan iman kepada Allah, memperbaharui persekutuan dan penyerahan diri kepada Allah, sebagai doa, komunikasi antara Allah dan umatNya.

Ini hanyalah gambaran sementara, karena Allah memiliki rencana yang jauh lebih mulia, pengorbanan satu kali, cukup untuk mengembalikan hubungan antara Allah dengan manusia, selama-lamanya. Melalui pengorbanan Yesus Kristus, Anak Domba Allah.

"Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam, sebab jika karena pelanggaran satu orang, semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karuniaNya, yang dilimpahkanNya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus.Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran, semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran, semua orang beroleh pembenaran untuk hidup." (Roma 5:15,18)

Pengorbanan, oleh dunia dianggap sebagai suatu bencana, tragedi, kebodohan, menyerah kalah, bukan merupakan suatu kemenangan/keberhasilan.

Yesus Kristus harus menderita, ditangkap, disesah, dihina, dan disalibkan, bahkan sampai mati di atas kayu salib, merupakan suatu kekalahan telak menurut pandangan dunia. Padahal seharusnya kitalah yang harus menanggung semua itu.

Pengorbanan Yesus Kristus merupakan persembahan yang berbau harum di hadirat Allah, Yesus menang melalui pengorbanan, yang juga merupakan kemenangan Allah yang tersamar dalam tragedi, sehingga kita yang percaya (beriman) kepada Yesus Kristus beroleh pembenaran untuk hidup, beroleh keselamatan, dan pemulihan hubungan dengan Allah kekal selamanya.

Sepanjang segala jaman, manusia berusaha mencari pembenaran melalui jalan pemikirannya sendiri, seperti Adam dan Hawa, menutupi tubuh mereka dengan pakaian daun pohon ara, tapi tak pernah disadari bahwa pembenaran tidak pernah diperoleh, manusia tidak pernah dapat memperbaiki hubungan dengan Allah melalui usaha manusia itu sendiri.

Pembenaran hanya ada oleh karena kasih karunia Allah, melalui Yesus Kristus, percaya (beriman) atas pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib.

Jadi, setelah kita beriman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat kita, setelah kita diselamatkan, dipulihkan persekutuan dengan Allah, apakah cukup begitu saja? Yang penting saya selamat, yang lain masa bodohlah, bukan urusan saya.

Firman Tuhan mengatakan, kita harus mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus. Seluruh aspek hidup kita, masa muda kita, kesehatan, kekayaan, kepandaian, waktu, pekerjaan, jabatan, talenta apapun yang Tuhan berikan kepada kita, harus dipakai sebagai kesempatan untuk bersaksi, mewartakan terang kasih Tuhan, dimanapun dan kapanpun. Kadang kita merasa berada di tempat dan waktu yang salah, tidak sesuai dengan keinginan kita, tetapi ingatlah bahwa Allah memiliki kehendak dan rencana yang khusus bagi hidup kita. Itu adalah ibadah yang sejati, merupakan persembahan yang berbau harum di hadapan Allah.

Mengikut Yesus, bukanlah seperti yang dunia harapkan, melalui jalan tol, jalan yang lebar, dapat lenggang kangkung semau gue, tanpa masalah, hidup enak kepenak dan melimpah berkat, apapun yang diinginkan dan diminta akan diberikan. Mengikut Yesus adalah melalui jalan salib, via dolorosa, menyangkal diri setiap hari, jauh dari harapan dunia, karena harus kalah setiap hari, mengalahkan kedagingan dari hari ke hari, berjalan menurut rencana dan kehendak Allah, menurut pimpinan Roh Kudus, hidup berkenan kepadaNya.

"Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:2)

Maukah kita hidup sebagai pengikut Kristus? Persembahkanlah hidup kita menjadi persembahan yang hidup, saat ini, bukan nanti kalau kita sudah tua atau tinggal sisa-sisa hidup kita. Satu hal yang dapat kita pegang, seperti yang menjadi keyakinan Rasul Paulus, "Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kita kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar daripada penderitaan kita. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tidak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tidak kelihatan adalah kekal." (2Korintus 4:17,18).

(Berserah kepada kehendak dan rencana Tuhan).


Dikembangkan Oleh Gloria Cyber Ministries
© Copyright 2000-2008.
All rights reserved.

Tiga Keajaiban Di Jumat Agung


Tiga Keajaiban Di Jumat Agung

Penulis : Dr. Eben Nuban Timo

JUMAT Agung adalah hari yang istimewa. Tidak biasanya orang Kristen bersekutu pada hari Jumat. Hari persekutuan dan ibadah Kristen sepanjang segala masa adalah hari pertama dalam seminggu. Bukan hari keenam, atau Jumat. Dan kalau anak-anak kita bertanya: "Mengapa Jumat Agung lain dari Jumat-Jumat yang biasa? Jawaban yang pasti dari para orangtua: "Karena pada hari Jumat Agung Yesus Kristus mati. Ia disalibkan dan menyerahkan nyawanya sebagai tebusan bagi banyak orang". Tentu saja jawaban ini benar. Tuhan Yesus mati pada hari Jumat.

Jumat Agung adalah hari yang unik. Kalau Matius hanya mencatat dua hal luar biasa. Lukas mencatat bagi kita tiga kejadian ajaib yang membuat Jumat yang satu itu lain dari kebanyakan hari Jumat. Pertama, kegelapan meliputi seluruh daerah itu selama tiga jam. Kedua, tabir Bait Suci terbelah dua. Ketiga, kepala pasukan penyaliban memuliakan Allah di depan umum. Tulisan ini akan terfokus pada ketiga keajaiban di Jumat yang Agung. Pertama: ada kegelaan meliputi seluruh daerah itu dari jam dua belas sampai jam tiga.

Matahari tidak mau bersinar. Bumi menjadi gelap. Mengapa begitu? Para ilmuwan bisa saja menjawab: ya itu terjadi karena gerhana matahari total yang terjadi pada waktu itu. Jawaban ini tidak mungkin. Karena gerhana matahari hanya bisa terjadi jika bulan gelap. Tetapi pada saat itu orang Yahudi merayakan paskah. Perayaan paskah selalu terjadi pada saat bulan purnama. Menurut perhitungan kalender Israel bulan baru selalu mulai dengan awal munculnya bulan. Hari keempat belas dari bulan baru, yaitu saat dimana domba paskah harus disembelih, jatuh sama dengan bulan purnama. Pada waktu itu posisi bulan berseberangan dengan matahari. Bumi berada di antara bulan dan matahari. Gerhana matahari hanya mungkin terjadi kalau bulan berada di antara matahari dan bumi.

Jadi gelap gulita yang terjadi pada hari Jumat Agung tidak ada sangkut paut dengan gerhana matahari. Kegelapan saat itu adalah sebuah kejadian yang janggal. Ia bukan gejala alam biasa, yakni gerhana matahari. Lalu apa sebenarnya penyebab kegelapan itu?

Saya ajak kita melakukan anjangsana ke perjanjian lama. Baiklah kita ingat kembali kisah penciptaan. Kalimat pertama dari Alkitab berbunyi: "Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum terbentuk dan kosong. Gelap gulita menutupi samudera raya".

Bumi berada dalam gelap. Bumi baru mengenal terang waktu Allah mulai bertindak. Itu sebabnya Kitab Kejadian melaporkan bahwa pekerjaan yang dilakukan Allah pada hari pertama adalah "menjadikan terang". Terang datang dari Allah. Karya Allah identik dengan terang. Dan karya Allah berlangsung dalam terang.

Allah menciptakan terang pada hari pertama. Tapi itu saja belum cukup. Pada hari keempat, terang itu dilipatgandakan lagi oleh Allah dengan menciptakan benda-benda penerang. Apakah dengan itu gelap sudah terusir dari dunia? Ternyata tidak. Kegelapan masih saja ada. Yesaya 9:1 masih bicara tentang bangsa yang berjalan dalam kegelapan. Bagaimana itu mungkin, padahal Allah sudah menjadikan terang dan membuat benda-benda penerang?

Rupanya betapa pun baik dan berguna terang itu, ia tidak mampu menghalau semua kejahatan dari muka bumi. Karena terang itu hanyalah ciptaan. Untuk benar-benar menghalau kegelapan dari muka bumi, terang yang sejati harus datang ke dalam dunia. Yesuslah terang yang sejati. Terang yang sesungguhnya. Terang yang diciptakan Allah pada hari pertama dan yang dipancarkan dari benda-benda penerang hanyalah pantulan atau refleksi dari terang yang sejati itu. Terang dalam Kejadian 1:3 dan terang yang dipancarkan benda-benda penerang, yaitu matahari, bulan dan bintang, tidak memiliki terang sendiri. Mereka menjadi terang karena ada terang yang sejati, yaitu Allah. Manusia harus dapat mengerti terang dan fungsinya jika mereka ada dalam terang. Itu sebabnya pemazmur 36:10 berkata: in lumine tou videmus lumen yang artinya: "dalam terangmu kami melihat terang".

Lalu apa hubungan gelap gulita di Jumat yang Agung dengan data yang saya kemukakan ini? Yang pertama, dengan cerita ini Lukas hendak menegaskan bahwa dunia kembali kepada keadaannya semula. Dunia benar-benar hidup tanpa Allah pada saat Yesus menghembuskan nafasnya yang terakhir. Itu sebabnya dunia diliputi kegelapan. Bukan kegelapan biasa karena gerhana matahari. Tetapi kegelapan luar biasa. Kegelapan yang dahsyat, kegelapan karena hidup tanpa Allah. Dan memang demikian adanya. Dua belas jam terakhir dari kisah hidup Yesus memperlihatkan betapa kejamnya manusia. Manusia telah benar-benar hidup tanpa Allah. Hati mereka menjadi gelap. Mereka bukan hanya memutarbalikkan kebenaran. Tetapi berusaha membunuh kebenaran. Manusia bukan hanya menangkap dan mengadili Yesus dalam kegelapan. Mereka juga ingin memusnahkan terang yang sejati itu dari muka bumi.

Gelap gulita di Golgota pada Jumat yang Agung ini menunjukkan bahwa dunia dan manusia belum melangkah jauh dalam hal kebenaran dan kasih. Umur dunia sudah tua, tapi manusia yang menduduki dunia masih ada pada titik start, nol kilometer.

Kedua, matahari menjadi gelap, karena Tuhan yang adalah sumber dari mana matahari memperoleh terang telah tiada. Seumpama lampu, nyala api matahari padam karena minyak yang menyalakannya sudah habis. Kristus sudah mati. Terang yang sesungguhnya sudah tiada. Matahari menjadi malu dan tidak tahan melihat bagaimana kejamnya perlakuan manusia terhadap sang terang. Itu sebabnya matahari menutup matanya. Ia tidak mau bersinar. Dalam Kitab Matius dan Lukas dikisahkan bahwa bukan hanya matahari yang menjadi gelap. Tetapi ada juga gempa bumi yang dahsyat. Bumi gemetar ketakutan waktu menyaksikan sumber hidup dan sang penciptanya dilumatkan oleh kuatnya dosa dan pemberontakan manusia.

Inilah arti dari kejadian ajaib pertama di Jumat Agung. Tapi, kuatnya dosa itu tidak berlangsung lama. Kejahatan yang bersimaharajalela, bahkan sampai menyerang Allah tidak bertahan. Ia hanya berlangsung sekejap. Hanya tiga jam. Memang cukup lama, tetapi tidak selamanya. Kegelapan pasti akan berlalu. Kejahatan tidak punya masa depan. Pada hari paskah nanti, hari kebangkitan Yesus, ia akan benar-benar pergi dan takluk pada sang terang dunia. Ini juga pelajaran penting bagi kita. Kejahatan memang ganas tetapi seganas apa pun kejahatan itu, ia tidak punya masa depan. Akan tiba waktunya dimana kejahatan dilucuti dan para pelaku kejahatan akan dihadapkan ke pengadilan. Sekarang mungkin tidak, karena pengadilan dan para hakim kita masih hidup tanpa Allah waktu hendak mengambil keputusan. Tapi nanti, waktu sang hakim yang agung itu datang semua kejahatan akan tersingkap.

Tanda ajaib yang kedua: tirai Bait Allah terbelah dua. Di Bait Allah tergantung dua tirai/layar. Yang pertama di pelataran depan yang memisahkan ruang untuk umum dan ruang yang kudus. Layar kedua tergantung di antara ruang kudus dan ruang maha kudus. Mana dari kedua layat ini yang terbelah tidak disebut dalam Alkitab. Kita hanya bisa menduga. Terbelahnya tirai ini tentu punya maksud atau pesan. Kalau maksudnya untuk mengumumkan bahwa jalan kepada Allah sekarang terbuka kepada semua manusia, maka yang tercabuk itu haruslah tirai yang memisahkan ruang kudus dan ruang maha kudus. Tetapi ini berarti hanya imam besar saja yang melihat dan mengetahui hal itu.

Sudah pasti bukan ini yang dimaksudkan Lukas. Tirai yang tercabik yang dimaksud Lukas haruslah tirai yang ada di antara ruang untuk umum dan ruang kudus. Dan kalau itu yang terjadi, maka tercabiknya tirai tadi hendak menegaskan bahwa dengan kematian Yesus Allah mengumumkan bahwa Ia tidak mau lagi terkurung hanya dalam Bait Allah dan hanya bisa ditemui di gedung kebaktian. Sejak saat itu Allah tidak hanya bisa ditemui di Bait Allah. Ia ada dalam perjalanan kepada bangsa-bangsa. Dia mau juga disembah dan dihormati di tempat-tempat yang bukan gedung kebaktian atau Bait Allah. Bukan hanya para imam saja yang dapat berbicara dan melayani Dia. Orang kebanyakan juga dapat bertemu Tuhan Allah secara langsung.

Pesan ini sesuai dengan dengan teologi kitab Injil Lukas. Karena keyakinan ini, Lukas tidak segan-segan bercerita tentang pekabaran Injil yang mulai dari Yerusalem sampai ke ujung bumi. Lukas juga memperoleh keberanian untuk menulis kepada seorang bukan Yahudi (Teofilus) dengan maksud meyakinkan dia bahwa cerita tentang Yesus adalah benar. Bahkan hanya Lukas sajalah yang memuat cerita tentang orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:25-37). Cerita yang memberikan kepada kita kesan sangat mendalam bahwa pelayanan dan penyembahan kepada Allah tidak melulu terjadi di Bait Allah atau tempat doa. Menolong sesama yang sedang dalam kesulitan, mengasihi dan memberi perlindungan kepada seorang asing atau dia yang memusuhi kita adalah perbuatan beribadah kepada Tuhan.

Kita yang merayakan Jumat Agung perlu tahu keajaiban ini, sehingga mulai belajar untuk menyembah Allah bukan hanya di gedung ibadah dan rumah doa, tetapi juga di setiap tempat dimana saja kita berada.

Keajaiban ketiga, seorang non Yahudi, bangsa tidak bersunat, kepala pasukan penyaliban berkata di hadapan umum: "Sungguh, orang ini adalah orang benar374Kita lihat di sini bahwa Allah tidak menyembunyikan kebenaran kepada orang non Yahudi. Allah adalah Tuhan yang tidak diskriminatif. Kasih juga tidak pilih muka. Allah memberikan kepada orang yang percaya maupun orang kafir kemampuan untuk mengenal kasih dan menghormatinya.

Tidak ada dosa yang begitu berat sehingga menghalang-halangi kuasa Allah. Tidak. Kepala pasukan penyaliban digerakkan hatinya oleh Allah untuk mengenal kasih dan kebenaran. Dengan mengakui bahwa Yesus adalah orang benar di depan umum, ia mengaku diri sebagai yang melakukan satu tindakan yang salah dan keliru. Si kepala pasukan penyaliban tidak berusaha membela diri, ia mengakui kekeliruannya dengan terbuka dan jujur.

Seorang kepala pasukan mengaku diri berbuat kesalahan dan kekeliruan. Itu diucapkan di depan umum. Lukas melihat ini sebagai sebuah keajaiban. Ia mencatat ini dalam kitab yang dia peruntukan kepada Teofilus, seorang pejabat tinggi dalam pemerintahan Roma waktu itu. Ia tentu mencatat keajaiban ini dengan maksud agar mendorong Teofilus waktu itu, dan Teofilus-Teofilus masa kini untuk meniru contoh kepala pasukan penyaliban.

Akhirnya, Lukas memberi kesaksian bahwa pada Jumat Agung yang pertama ada tiga peristiwa ajaib. Kita sudah lihat keajaiban itu satu persatu. Tentu saja tidak dengan maksud mengatakan bahwa keajaiban-keajaiban itu hanya terjadi pada Jumat Agung yang pertama saja. Lukas catat hal itu untuk mendorong kita agar menjadikan Jumat Agung yang kita peringati kini dan di sini juga menjadi Agung yang di dalamnya ada keajaiban-keajaiban yang bisa disaksikan orang lain.

Tuesday, March 18, 2008

PENGHAMBAT KEMAJUAN JEMAAT

PENGHAMBAT KEMAJUAN JEMAAT
Oleh
I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA.
Diaken pada (GKPB: Gereja Kristen Protestan di Bali) Jemaat Kudus Sading
Dosen Tetap STIM Dhyana Pura
http://www.raiutama.multiply.com



Jika kita ditanya tentang dedominasi Gereja kita oleh teman dari kota-kota besar atau dari luar negeri, secara tidak sadar kita sering menjawab bahwa kita ikut di gereja tertentu atau bahkan dengan tidak malu kita juga sering menyebut gereja tradisional.

Untuk menjawab, apakah kita berasal dari golongan tradisional atau modern amatlah sulit untuk menggolongkannya. Namun berkaitan dengan masyarakat tradisional ada beberapa CIRI-CIRI yang dapat dipakai sebagai indikator ke-tradisionalan tersebut dan biasanya berkaitan dengan sikap manusia sebagai menghambat jalannya proses kemajuan disebut masyarakat tradisional.

Menurut Sosiolog Everet Roger, ada 10 ciri sikap masyarakat tradisional yang sangat tidak mendukung menuju kemajuan, diantaranya adalah:

1. Kurang bisa saling mempercayai satu sama lainnya.
Mungkinkah diantara kita warga jemaat, atau mungkinkah diantara kita majelis jemaat, atau para pendeta kurang bisa saling mempercayai satu sama lainnya? Jika ciri ini tampak dominan, maka tidak salah apa yang menjadi persepsi kita, bahwa gereja kita adalah gereja yang tradisional memang benar.

2. Kurang daya inovasi dan kreativitas
Dengan memikul tema “Gereja yang Hidup” seharusnya dalam kehidupan bergereja warga jemaatnya terus berinovasi dan kreativ dalam segala hal, artinya dalam aplikasi tema tersebut, tidak harus menunggu komando dari Sinode. Jika ciri ini juga dominan masih nampak di jemaat kita, maka persepsi kita, bahwa gereja kita adalah gereja yang tradisional memang tidak salah.

3. Sangat mudah pasrah dan cepat putus asa
Mungkinkah jika kita berdoa atau mendoakan saudara kita yang sakit, tanpa tidak sadar kita ingin sekali memaksakan keinginan kita agar doa kita cepat terjawab dengan hanya dua atau tigakali berdoa saja. Jika doa-doa kita tidak terjawab dalam waktu singkat, dengan tidak merasa bersalah kita menuduh Tuhan tidak berpihak pada kita atau lebih buruk lagi, kita menuduh bahwa saudara kita yang sakit tersebut teramat besar dosanya. Jika ciri-ciri ini juga dominan, kita masih tradisional.

4. Memiliki tingkat aspirasi yang amat rendah
Tingkat aspirasi yang paling nyata, misalnya memberikan saran-saran yang baik dan membangun pada saat rapat jemaat, sidang sinode, atau sidang-sidang yang lainnya. Tidak terlalu cepat untuk mengkritik, namun lambat untuk memberikan solusi. Jika ciri-ciri ini dapat ditunjukkan secara dominan oleh warga jemaat, sebenarnya kita sudah memegang sebuah ciri-ciri menuju jemaat modern.

5. Ingin selalu cepat mendapatkan hasil
Mungkinkah diantara kita, jika merencanakan sesuatu selalu ingin instan atau cepat beres. Misalnya saja, disaat kita merencanakan pembangunan ruang serba guna untuk aktivitas anak-anak sekolah minggu, dalam waktu tiga bulan harus sudah rampung tanpa mempertimbangkan kemampuan dana dan pada akhirnya kita mengharapkan dana dari jemaat lain, dan mungkin juga kita tidak pernah mempertimbangkan jemaat lainpun mungkin mempunyai rencana yang sama. Jika ciri-ciri ini juga dominan, kita masih tradisonal.

6. Berpikir sempit
Adakah diantara kita masih berpikir, aku warga asli, kamu warga pendatang dan sejenisnya. Sebenarnya tidak ada sebutan warga asli atau warga pendatang dalam kamus ke-Kristenan, karena Injil diperintahkan untuk ditaburkan di seluruh muka bumi ini. Artinya, jika kita masih berpikir seperti ini, maka tidak salah orang lain mempunyai persepsi bahwa kita masih tradisional.

7. Familisme sangat kental
Dalam memberikan pertolongan: misalnya peluang pekerjaan, beasiswa atau sejenisnya, beberapa diantara kita masih berpikir, keluarganya siapa, anaknya siapa, atau pertanyaan sejenisnya. Jika ini masih ditunjukkan oleh kebanyakan jemaat kita, maka lagi-lagi kita kehilangan ciri-ciri ke-modernan tersebut.

8. Sangat tergantung pada pemerintah
Mungkinkah seorang pendeta yang melayani di jemaat-jemaat sangat tergantung pada Struktur secara sinodal, sehingga seolah-olah pendeta menjadi perpanjangan tangan MSH? Jika ini yang terjadi maka kiprah seorang pendeta menjadi tidak begitu dekat pada jemaatnya, dan mungkin lebih takut pada MSH ketimbang takut pada tanggungjawab pelayanannya di jemaatnya. Jika ciri-ciri ini ditunjukkan secara dominan oleh kita, maka kita sebenarnya masih sangat tradisional.

9. Susah memisahkan diri dengan suasana atau situasi di tempat asalnya
“Makan tidak makan pokoknya kumpul” adalah sebuah ungkapan kuno masyarakat Jawa tempo dulu sebelum program transmigrasi ditawarkan oleh pemerintah. Jika ini juga masih dianut oleh beberapa diantara kita, misalnya ada seorang pendeta yang menolak ditugaskan di sebuah desa terpencil dengan alasan anak-anak, istri dan mungkin sudah punya rumah permanen dan megah di kota besar menolak tugas panggilan tersebut, maka lagi-lagi sebutan tradisional tersebut masih layak kita sandang.

10. Tidak mampu menempatkan diri sebagai orang lain
Ciri yang terakhir ini sebenarnya sebuah penyangkalan diri yang paling sederhana, Jika kita ingin diberi, berilah orang lain terlebih dahulu. Jika kita ingin dihormati, hormati orang lain terlebih dahulu. Jika ciri-ciri ini dapat kita tunjukkan di setiap komunitas gereja kita, maka sebenarnya kita telah membuang balok penghalang untuk menuju masyarakat modern.

Penulis tidak ingin menggeneralisasi bahwa jemaat kita masih bersikap tradisional, namun tulisan ini akan menjadi wacana introspeksi menuju Jemaat modern.

CARA MENUJU KEBAHAGIAAN

CARA MENUJU KEBAHAGIAAN

Bacaan : Mazmur 146

Semua orang ingin bahagia. Namun, banyak orang gagal dalam usaha menemukan hadiah yang sukar dipahami itu, karena mereka mencari di tempat yang salah.

Amsal 16:20 berkata, "Berbahagialah orang yang percaya kepada Tuhan." Dan, Mazmur 146:5 menunjukkan bahwa kebahagiaan hanya didapat oleh mereka yang mencari pertolongan dan pengharapan dalam Allah.

Landasan kebahagiaan adalah hubungan yang benar dengan Tuhan. Namun, untuk mengalami kebahagiaan itu secara penuh, kita harus membangun cara-cara praktis berdasarkan landasan itu. Saya menemukan Sepuluh Aturan Menuju Hidup yang Lebih Bahagia:

1. Berbagi.
2. Melakukan kebaikan.
3. Selalu mengucap syukur.
4. Bekerja penuh semangat.
5. Mengunjungi orang tua dan belajar dari pengalaman mereka.
6. Memandang lekat-lekat wajah seorang bayi dan mengaguminya.
7. Sering tertawa -- tawa adalah minyak pelumas hidup.
8. Berdoa untuk mengetahui jalan Allah.
9. Membuat rencana seperti Anda akan hidup selamanya -- dan itu pasti.
10. Hidup seakan-akan hari ini adalah hari terakhir Anda di bumi.

Semuanya adalah pemikiran yang sangat baik untuk menjalani hidup yang bahagia. Topanglah masing-masing aturan ini dengan pujian, dan kebahagiaan Anda akan menjadi sempurna. "Pujilah Tuhan, hai jiwaku! Aku hendak memuliakan Tuhan selama aku hidup" (Mazmur 146:1,2) --RWD

KEBAHAGIAAN SEJATI TERCAPAI
KARENA KITA PERCAYA DAN TAAT KEPADA TUHAN

Darimana Asalnya Alkitab?

Darimana Asalnya Alkitab?
________________________________________
KATA PENGANTAR


Apakah anda Katolik atau Protestan, mungkin anda juga pernah bertanya-tanya, mengapa Alkitab yang dipakai oleh umat Katolik berbeda dengan Alkitab umat Protestan. Alkitab umat Katolik terdiri dari 73 buku yang termasuk kitab-kitab Deuterokanonika, sedangkan Alkitab umat Protestan terdiri dari 66 buku, yaitu tanpa kitab-kitab Deuterokanonika.

Penulis merangkum dari beberapa narasumber, yang daftarnya dapat anda temukan di akhir tulisan ini. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat membuat anda lebih terpesona lagi oleh kekayaan dan kebesaran Gereja Katolik. Dan semoga anda pada gilirannya, menjadi konduit bagi penyebar-luasan kisah sejarah yang sebenarnya akan asal usul Alkitab.

SEJARAH TERBENTUKNYA KITAB-KITAB PERJANJIAN LAMA
Alkitab Gereja Katolik terdiri dari 73 kitab, yaitu Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab. Bagaimanakah sejarahnya sehingga Alkitab terdiri dari 73 kitab, tidak lebih dan tidak kurang? Pertama, kita akan mengupas kitab-kitab Perjanjian Lama yang dibagi dalam tiga bagian utama: Hukum-hukum Taurat, Kitab nabi-nabi dan Naskah-naskah. Lima buku pertama: Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat dan Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan adalah intisari dan cikal-bakal seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada suatu ketika dalam sejarah, ini adalah Kitab Suci yang dikenal oleh orang-orang Yahudi dan disebut Kitab Taurat atau Pentateuch.
Selama lebih dari 2000 tahun, nabi Musa dianggap sebagai penulis dari Kitab Taurat, oleh karena itu kitab ini sering disebut Kitab Nabi Musa dan sepanjang Alkitab ada referensi kepada "Hukum Nabi Musa". Tidak ada seorangpun yang dapat memastikan siapa yang menulis Kitab Taurat, tetapi tidak disangkal bahwa nabi Musa memegang peran yang unik dan penting dalam berbagai peristiwa-peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab ini. Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa Alkitab adalah hasil inspirasi Ilahi dan karenanya identitas para manusia pengarangnya tidaklah penting.

Nabi Musa menaruh satu set kitab di dalam Tabut Perjanjian (The Ark of The Covenant) kira-kira 3300 tahun yang lalu. Lama kemudian Kitab Para Nabi dan Naskah-naskah ditambahkan kepada Kitab Taurat dan membentuk Kitab-kitab Perjanjian Lama. Kapan tepatnya isi dari Kitab-kitab Perjanjian Lama ditentukan dan dianggap sudah lengkap, tidaklah diketahui secara pasti. Yang jelas, setidaknya sejak lebih dari 100 tahun sebelum kelahiran Kristus, Kitab-kitab Perjanjian Lama sudah ada seperti umat Katolik mengenalnya sekarang.

Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint, yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi yang terusir, yang tinggal di Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.

Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap Gereja Katolik. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon Kitab Suci mereka: [1] Ditulis dalam bahasa Ibrani; [2] Sesuai dengan Kitab Taurat; [3] lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM); [4] dan ditulis di Palestina. Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan semata-mata atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.

Gereja Katolik tidak mengakui konsili rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja Katolik secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para Patriarch Gereja (Church Fathers) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Church Fathers, beberapa diantaranya disebutkan disini: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus adalah para Patriarch Gereja yang hidup pada abad-abad pertama dan tulisan-tulisan mereka - meskipun tidak dimasukkan dalam Perjanjian Baru - menjadi bagian dari Deposit Iman. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja Katolik sebagai Deuterokanonika (= second-listed) yang artinya kira-kira: "disertakan setelah banyak diperdebatkan".

GEREJA KATOLIK MENDAHULUI KITAB PERJANJIAN BARU

Seperti Kitab-kitab Perjanjian Lama, Kitab-kitab Perjanjian Baru juga tidak ditulis oleh satu orang, tetapi adalah hasil karya setidaknya delapan orang. Kitab Perjanjian Baru terdiri dari 4 kitab Injil, 14 surat Rasul Paulus, 2 surat Rasul Petrus, 1 surat Rasul Yakobus, 1 surat Rasul Yudas, 3 surat Rasul Yohanes dan Wahyu Rasul Yohanes dan Kisah Para Rasul yang ditulis oleh Santo Lukas, yang juga menulis Kitab Injil yang ketiga. Sejak kitab Injil yang pertama yang ditulis oleh Santo Matius sampai kitab Wahyu Yohanes, ada kira-kira memakan waktu 50 tahun. Tuhan Yesus sendiri, sejauh yang kita ketahui, tidak pernah menuliskan satu barispun dari kitab Perjanjian Baru. Dia tidak pernah memerintahkan para Rasul untuk menuliskan apapun yang diajarkan oleh-Nya. Dia berkata: "Maka pergilah dan ajarlah segala bangsa" (Matius 28:19-20), "Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku" (Lukas 10:16).

Apa yang Yesus perintahkan kepada mereka persis sama seperti apa yang Yesus sendiri lakukan: menyampaikan Firman Allah kepada orang-orang melalui kata-kata, meyakinkan, mengajar, dan mentobatkan mereka dengan bertemu muka. Jadi bukan melalui sebuah buku yang mungkin bisa rusak dan hilang, dan disalah tafsirkan dan diubah-ubah isinya, melainkan melalui cara yang lebih aman dan alami dalam menyampaikan firman yaitu dari mulut ke mulut. Demikianlah para Rasul mengajar generasi seterusnya untuk melakukan hal yang serupa setelah mereka meninggal. Oleh karena itu melalui Tradisi seperti inilah Firman Allah disampaikan kepada semua generasi umat Kristen sebagaimana pertama kali diterima oleh para Rasul.

Tidak satu barispun dari kitab-kitab Perjanjian Baru dituliskan sampai setidaknya 10 tahun setelah wafatnya Kristus. Yesus disalibkan pada tahun 33 dan kitab Perjanjian Baru yang pertama ditulis yaitu surat 1 Tesalonika baru ditulis sekitar tahun 50 Masehi. Sedangkan kitab terakhir yang ditulis yaitu kitab Wahyu Yohanes pada sekitar 90-100 Masehi. Jadi anda bisa melihat kesimpulan penting disini: Gereja Katolik dan iman Katolik sudah ada sebelum Alkitab dijadikan. Beribu-ribu orangbertobat menjadi Kristen melalui khotbah para Rasul dan missionaris di berbagai wilayah, dan mereka percaya kepada kebenaran Ilahi seperti kita percaya sekarang, dan bahkan menjadi orang-orang kudus tanpa pernah melihat ataupun membaca satu kalimatpun dari kitab Perjanjian Baru. Ini karena alasan yang sederhana yaitu bahwa pada waktu itu Alkitab seperti yang kita kenal, belum ada. Jadi, bagaimanakah mereka menjadi Kristen tanpa pernah melihat Alkitab? Yaitu dengan cara yang sama orang non-Kristen menjadi Kristen pada masa kini, yaitu dengan mendengar Firman Allah dari mulut para misionaris.

GEREJA KATOLIK MENETAPKAN KITAB PERJANJIAN BARU

Ke-dua puluh tujuh kitab diterima sebagai Kitab Suci Perjanjian Baru baik oleh umat Katolik maupun Protestan. Pertanyaannya adalah: Siapa yang memutuskan kanonisasi Perjanjian Baru sebagai kitab-kitab yang berasal dari inspirasi Ilahi? Kita tahu bahwa Alkitab tidak jatuh dari langit, jadi darimana kita tahu bahwa kita bisa percaya kepada setiap kita-kitab tersebut?

Berbagai uskup membuat daftar kitab-kitab yang diakui sebagai inspirasi Ilahi, diantaranya: [1] Mileto, uskup Sardis pada tahun 175 Masehi; [2] Santo Irenaeus, uskup Lyons - Perancis pada tahun 185 Masehi; [3] Eusebius, uskup Caesarea pada tahun 325 Masehi.

Pada tahun 382 Masehi, didahului oleh Konsili Roma, Paus Damasus menulis dekrit yang menulis daftar kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang terdiri dari 73 kitab.

Konsili Hippo di Afrika Utara pada tahun 393 menetapkan ke 73 kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Konsili Kartago di Afrika Utara pada tahun 397 menetapkan kanon yang sama untuk Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Catatan: Ini adalah konsili yang dianggap oleh banyak kaum Protestan dan Evangelis Protestan sebagai otoritatif bagi kanonisasi kitab-kitab dalam Perjanjian Baru.

Paus Santo Innocentius I (401-417) pada tahun 405 Masehi menyetujui kanonisasi ke 73 kitab-kitab dalam Alkitab dan menutup kanonisasi Alkitab.

Jadi kanonisasi Alkitab secara resmi diputuskan di abad ke empat oleh konsili-konsili Gereja Katolik dan para Paus. Sebelum kanon Alkitab ditetapkan, ada banyak perdebatan. Ada yang beranggapan bahwa beberapa kitab Perjanjian Baru seperti surat Ibrani, surat Yudas, kitab Wahyu, dan surat 2 Petrus, adalah bukan hasil inspirasi Ilahi. Sementara pihak lain berpendapat bahwa beberapa kitab yang tidak dikanonisasi seperti: Gembala Hermas, Injil Petrus dan Thomas, surat-surat Barnabas dan Clement adalah hasil inspirasi Ilahi. Keputusan resmi Gereja Katolik menyelesaikan hal diatas sampai 1100 tahun kemudian. Hingga jaman Reformasi Protestan, tidak ada lagi perdebatan akan kitab-kitab dalam Alkitab.

Melihat sejarah, Gereja Katolik menggunakan otoritasnya untuk menentukan kitab-kitab yang mana yang termasuk dalam Alkitab dan memastikan bahwa segala yang tertulis dalam Alkitab adalah hasil inspirasi Ilahi. Jika bukan karena Gereja Katolik, maka umat Kristen tidak akan dapat mengetahui yang mana yang benar.

KITAB VULGATE - KARYA SANTO JEROME

Ketika Kabar Gembira telah tersebar luas dan banyak orang menjadi Kristen, merekapun dibekali dengan terjemahan Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa asli mereka yaitu Armenia, Siria, Koptik, Arab dan Ethiopia bagi umat Kristen purba di wilayah-wilayah ini. Bagi umat Kristen di Afrika dimana bahasa Latin paling luas digunakan, ada terjemahan kedalam bahasa Latin yang dibuat sekitar tahun 150 Masehi dan juga terjemahan berikutnya bagi umat di Italia. Akan tetapi semua ini akhirnya digantikan oleh mahakarya yang dibuat oleh Santo Jerome dalam bahasa Latin yang disebut "Vulgate" pada abad ke-empat. Pada masa itu ada kebutuhan besar akan Kitab Suci dan ada bahaya karena banyaknya variasi terjemahan yang ada. Oleh karena itu sang biarawan, yang mungkin pada waktu itu adalah orang yang paling terpelajar, atas perintah Paus Santo Damascus pada tahun 382, membuat terjemahan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Latin dan mengkoreksi versi-versi yang ada dalam bahasa Yunani. Lantas di Bethlehem antara tahun 392-404, dia juga menterjemahkan Kitab-kitab Perjanjian Lama langsung dari bahasa Ibrani (jadi bukan dari Septuagint) kedalam bahasa Latin, kecuali kitab Mazmur yang direvisi dari versi Latin yang sudah ada. Ini adalah Alkitab lengkap yang diakui resmi oleh Gereja Katolik, yang nilainya tak terukur menurut para ahli alkitab masa kini, dan terus mempengaruhi versi-versi lainnya sampai pada jaman Reformasi Protestan.

HILANGNYA KITAB-KITAB ASLI

Hingga ditemukannya mesin cetak pada tahun 1450, semua Alkitab adalah hasil salinan tangan yang kita sebut manuskrip. Alkitab lengkap tertua yang masih ada hingga sekarang berasal dari abad ke-empat, dan isinya sama dengan Alkitab yang dipegang oleh umat Katolik yaitu terdiri dari 73 kitab. Apa yang terjadi dengan manuskrip-manuskrip asli yang ditulis oleh para penulis kitab Injil? Ada beberapa alasan akan hilangnya kitab-kitab asli tersebut:

Beberapa ratus tahun pertama adalah masa-masa penganiayaan terhadap umat Kristen. Para penguasa yang menindas Gereja Katolik menghancurkan segala hal yang menyangkut Kristenitas yang bisa mereka temukan. Selanjutnya, kaum pagan (non-Kristen) juga secara berulang-ulang menyerang kota-kota dan perkampungan Kristen dan membakar dan menghancurkan gereja dan segala benda-benda religius yang dapat mereka temukan disana. Lebih jauh lagi, mereka bahkan memaksa umat Kristen untuk menyerahkan kitab-kitab suci dibawah ancaman nyawa, lantas membakar kitab-kitab tersebut.

Alasan lainnya: media yang dipakai untuk menuliskan ayat-ayat Alkitab, disebut papirus - sangat mudah hancur dan tidak tahan lama, sedangkan perkamen, yang terbuat dari kulit binatang dan lebih tahan lama, sulit didapat. Kedua materi inilah yang dimaksud dalam 2 Yohanes 1:12 dan 2 Timotius 4:13. Umat Kristen purba, setelah membuat salinan Alkitab, juga tidak terlalu peduli untuk menjaga kitab aslinya. Mereka tidak beranggapan penting untuk memelihara tulisan-tulisan asli oleh Santo Paulus atau Santo Matius oleh karena mereka percaya penuh kepada Gereja Katolik yang mengajarkan lewat Tradisi melalui mulut para Paus dan para uskup-uskupnya. Umat Katolik tidak melandaskan ajaran-ajarannya pada Alkitab semata-mata, tetapi juga kepada Tradisi yang hidup, dari Gereja Katolik yang infallible. ubi Ecclesia, ibi Christus.

ALKITAB PADA ABAD PERTENGAHAN

Segenap umat Kristen berhutang budi kepada para kaum religius, imam, biarawan dan biarawati yang menyalin, memperbanyak, memelihara dan menyebar-luaskan Alkitab selama berabad-abad. Para biarawan adalah kaum yang paling terpelajar pada jamannya dan salah satu kegiatan utama mereka adalah menyalin isi Alkitab sedangkan biara-biara menjadi pusat penyimpanan naskah-naskah Alkitab ini. Umumnya masing-masing biara-biara di abad pertengahan memiliki perpustakaan tersendiri. Tidak kurang dari para raja dan kaum bangsawan dan orang-orang terkenal meminjam dari biara-biara ini. Para raja dan kaum bangsawan itu sendiri, bersama para Paus, uskup dan kepala-kepala biara, sering menghadiahkan Kitab Suci yang diberi hiasan yang indah kepada biara-biara dan gereja-gereja di seluruh Eropa.

Untuk menyalin satu Alkitab lengkap, diperlukan sekurangnya 10 bulan tenaga kerja dan sejumlah besar perkamen yang mahal harganya untuk memuat lebih dari 35000 ayat-ayat dalam Alkitab. Hal ini menjelaskan mengapa banyak orang biasa tidak mampu memiliki setidaknya satu set Alkitab lengkap di rumah-rumah mereka. Mereka biasanya memiliki salinan dari sejumlah pasal dalam Alkitab yang populer. Jadi kebiasaan memiliki bagian-bagian dari Alkitab yang terpisah adalah kebiasaan yang sepenuhnya Katolik dan yang hingga kini masih dilakukan.

Alkitab pada abad pertengahan umumnya ditulis dalam bahasa Latin. Hal ini dilakukan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menyulitkan umat yang ingin membacanya. Kebanyakan orang pada masa itu tidak mampu membaca, sedangkan mereka yang mampu membaca, juga dapat mengerti bahasa Latin. Latin adalah bahasa universal pada waktu itu. Mereka yang mampu membaca lebih menyukai membaca Vulgate, versi Latin dari Alkitab. Oleh karena kenyataan tersebut, tidak ada alasan kuat untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa setempat secara besar-besaran. Namun meski demikian harap diingat bahwa sepanjang sejarah Gereja Katolik tetap menyediakan terjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa setempat.

MARTIN LUTHER DAN ALKITAB PROTESTAN

Pada tahun 1529, Martin Luther mengajukan kanon Palestina yang menetapkan 39 kitab dalam bahasa Ibrani sebagai kanon Perjanjian Lama. Luther mencari pembenaran dari keputusan konsili Jamnia (yang adalah konsili imam Yahudi, jadi bukan sebuah konsili Gereja Kristen!) bahwa tujuh kitab yang dikeluarkan dari Perjanjian Lama tidak memiliki kitab-kitab aslinya dalam bahasa Ibrani. Luther melakukan hal tersebut sebenarnya karena sejumlah ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut justru mengokohkan doktrin-doktrin Gereja Katolik dan bertentangan dengan doktrin-doktrin baru yang dikembangkan oleh Martin Luther sendiri.

Oleh karena alasan yang serupa, Martin Luther juga nyaris membuang beberapa kitab-kitab lainnya: surat Yakobus, surat Ibrani, kitab Ester dan kitab Wahyu. Hanya karena bujukan kuat oleh para pendukung kaum reformasi Protestan yang lebih konservatif maka kitab-kitab diatas tetap dipertahankan dalam Alkitab kaum Protestan. Namun demikian, tidak kurang Martin Luther menghujat bahwa surat Yakobus tidak pantas dimasukkan dalam Alkitab.

Untuk mendukung salah satu doktrinnya yang terkenal yaitu Sola Fide (bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman saja), dalam Alkitab terjemahan bahasa Jerman, Martin Luther menambahkan kata 'saja' pada surat Roma 3:28. Sehingga ayat tersebut berbunyi: "Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman saja, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat". Tidak heran kalau Martin Luther menghujat surat Rasul Yakobus dan berusaha untuk membuangnya dari Perjanjian Baru, karena justru dalam surat Yakobus ada banyak ayat yang menjatuhkan doktrin Sola Fide yang diciptakan oleh Martin Luther tersebut. Antara lain, dalam Yakobus 2:14-15 tertulis: "Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?" dan Yakobus 2:17 "Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati" dan Yakobus 2:24 "Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.".

Pertanyaannya sekarang adalah: Kitab Perjanjian Lama manakah yang lebih baik anda baca? Kitab Perjanjian Lama yang digunakan oleh Yesus, para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru dan Gereja purba? Atau Kitab Perjanjian Lama yang ditetapkan oleh imam-imam Yahudi yang menolak Yesus Kristus dan menindas umat Kristen purba?

ALKITAB GEREJA KATOLIK

Bahkan sebelum pecahnya Reformasi Protestan, ada banyak versi-versi Alkitab yang beredar pada masa itu. Banyak diantaranya mengandung kesalahan-kesalahan yang disengaja - seperti dalam kasus-kasus kaum heretic, pembangkang gereja yang berusaha mendukung doktrin-doktrin yang mereka ciptakan sendiri, dengan menuliskan Alkitab yang sudah diganti-ganti isinya. Ada juga kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja oleh karena faktor human error, mengingat pekerjaan menyalin Alkitab dilakukan dengan tulisan tangan, ayat demi ayat, yang sangat memakan waktu dan tenaga.

Oleh karena itu pada Konsili di Florence pada abad ke lima belas, Gereja Katolik menguatkan keputusan yang dibuat pada konsili-konsili sebelumnya mengenai kitab-kitab yang ada dalam Alkitab.

Setelah meletusnya Reformasi Protestan, pada Konsili Trente oleh Gereja Katolik pada tahun 1546 dikeluarkanlah dekrit yang mensahkan Vulgate, versi Latin dari Alkitab sebagai satu-satunya versi yang diakui dan sah yang diperbolehkan kepada umat Katolik. Alkitab ini direvisi oleh Paus Sixtus V pada tahun 1590 dan juga oleh Paus Clement VIII pada tahun 1593. Dari Vulgate inilah dihasilkan terjemahan dalam bahasa Inggris yang terkenal yaitu Douai-Rheims Bible.

Selanjutnya pada konsili Vatikan I, kembali Gereja Katolik menegaskan keputusan konsili-konsili sebelumnya tentang Alkitab.

Oleh karena itu di akhir tulisan ini, kita dapat membuat kesimpulan-kesimpulan penting:

Berdasarkan sejarah, Alkitab adalah sebuah kitab Katolik. Perjanjian Baru ditulis, disalin dan dikoleksi oleh umat Kristen Katolik. Kanon resmi dari kitab-kitab yang membentuk Alkitab - Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru - ditentukan secara penuh kuasa oleh Gereja Katolik pada abad ke empat. Oleh karena itu, dari Gereja Katolik-lah kaum Protestan bisa memiliki Alkitab.

Menuruti akal sehat dan logika, Gereja Katolik yang memiliki kekuasaan untuk menentukan Firman Allah yang infallible - bebas dari kesalahan -, pasti juga memiliki otoritas yang infallible - bebas dari kesalahan - dan juga bimbingan dari Roh Kudus. Seperti telah anda lihat, terlepas dari deklarasi oleh Gereja Katolik, kita sama sekali tidak memiliki jaminan bahwa apa yang tertulis dalam Alkitab adalah Firman Allah yang asli. Jika anda percaya kepada isi Alkitab maka anda juga harus percaya kepada otoritas Gereja Katolik yang menjamin keaslian Alkitab. Sangat kontradiktif bagi kaum Protestan untuk menerima Alkitab tetapi menolak otoritas Gereja Katolik. Logikanya, kaum Protestan mestinya tidak mengutip isi Alkitab sama sekali, karena mereka tidak memiliki pegangan untuk menentukan kitab-kitab mana saja yang asli, kecuali tentunya kalau mereka menerima kuasa pengajaran dari Gereja Katolik.

TANYA - JAWAB

Pertanyaan: Mengapa Alkitab umat Katolik terdiri dari 73 kitab sedangkan Alkitab umat Protestan terdiri dari 66 kitab?
Jawaban: Gereja Katolik melandaskan Perjanjian Lama pada Kanon Alexandria - lebih dari satu abad sebelum kelahiran Yesus Kristus - yang menetapkan 43 kitab yang disebut Septuagint sebagai kitab-kitab Perjanjian Lama. Kaum Protestan melandaskan Perjanjian Lama pada Kanon Palestina yang diadakan oleh imam-imam Yahudi untuk memerangi umat Kristen, sekitar tahun 100 Masehi. Perlu ditegaskan disini bahwa baik Yesus maupun para murid-muridNya menggunakan Septuagint yaitu berdasarkan Kanon Alexandria. Pertanyaannya sekarang adalah: Tidakkah anda sebagai umat Kristen, mestinya memakai Kitab Perjanjian Lama yang dipergunakan oleh Yesus dan para murid-muridNya, dan bukan malahan menggunakan versi Perjanjian Lama yang ditetapkan oleh para imam Yahudi yang justru menindas umat Kristen?

Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik pernah melarang umat Kristen untuk membaca Alkitab dan apakah benar bahwa atas berkat jasa Martin Luther maka umat Katolik sekarang boleh membaca Alkitab?
Jawaban: Satu-satunya kejadian yang menyangkut larangan kaum awam membaca/memiliki Alkitab dikeluarkan hanya oleh beberapa uskup di Perancis pada abad ke 13 untuk memerangi kaum pembangkang Albigensian di Perancis. Larangan itu dihapuskan 40 tahun kemudian setelah pembangkangan selesai. Jadi Gereja Katolik tidak pernah mengeluarkan larangan umatnya membaca Alkitab sepanjang sejarah. Apalagi anggapan bahwa Martin Luther memiliki jasa apapun atas Gereja Katolik. Ada dongeng yang beredar dikalangan umat Protestan yang mengisahkan bahwa Martin Luther-lah yang "menemukan" Alkitab. Tapi kalau anda membaca buku-buku sejarah gereja yang berbobot, maka anda akan menemukan bahwa justru Martin Luther-lah yang bertanggung jawab menghapuskan kitab-kitab Deuterokanonika dari Perjanjian Lama, dan bahkan nyaris menghapuskan lebih banyak lagi kitab-kitab dari dalam Alkitab. Dia melakukan semua itu demi untuk mendukung doktrin-doktrin yang diciptakannya sendiri yang hingga kini masih menjadi doktrin-doktrin Protestan.

Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik mempersulit umat Kristen untuk membaca Alkitab dengan hanya menyediakan terjemahan dalam bahasa Latin?
Jawaban: Pada waktu itu, orang yang mampu membaca, juga mampu membaca Latin. Karena Latin adalah bahasa internasional pada jaman itu. Lebih jauh lagi, Vulgate, versi Latin dari Alkitab hasil karya Santo Jerome amat digemari oleh umat Kristen. Jadi tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk menyediakan Alkitab dalam berbagai bahasa. Namun demikian ada juga versi-versi terjemahan dalam bahasa-bahasa setempat.

Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik pernah membakar Alkitab?
Jawaban: Selama berabad-abad Gereja dilanda oleh berbagai pembangkangan (heresy). Para pembangkang ini menggunakan Alkitab yang sudah diselewengkan isinya untuk mendukung doktrin-doktrin mereka sendiri. Gereja Katolik sebagai penjaga keaslian Alkitab juga memiliki hak dan kuasa untuk memastikan bahwa umat Kristen memiliki Alkitab yang isinya tidak dikorupsi demi kepentingan sekelompok orang. Oleh arena itu otoritas Gereja Katolik memusnahkan Alkitab-alkitab yang isinya penuh kesalahan ini dan menggantinya dengan Alkitab yang murni isinya. Martin Luther bukan satu-satunya orang yang pernah mengkorupsi isi Alkitab.

Pertanyaan: Jika penggunaan Alkitab meluas pada abad-abad pertengahan, mengapa hanya sedikit kitab-kitab kuno ini yang tertinggal?
Jawaban: Ada beberapa alasan. Pertama, ada banyak terjadi peperangan sehingga banyak manuskrip-manuskrip kuno ini ikut musnah. Kedua, media yang dipergunakan mudah rusak dan tidak tahan lama. Ketiga, pengrusakan besar-besaran yang dilakukan dengan sengaja seperti pada masa reformasi Protestan. Kaum pendukung reformasi Protestan menghancurkan segala hal yang berbau Katolik. Gereja-gereja, biara-biara, tempat-tempat ziarah beserta penghuni dan semua isinya yang bernilai tinggi menjadi korban pergolakan yang dicetuskan oleh kaum pendukung reformasi.

Pertanyaan: Mengapa kitab-kitab yang ditolak dari Perjanjian Lama oleh imam-imam Yahudi itu disebut sebagai Deuterokanonika?
Jawaban: Deuterokanonika artinya kira-kira: "disertakan setelah diperdebatkan". Santo Jerome sendiri pernah mengutarakan kekhawatirannya akan keaslian kitab-kitab tersebut. Akan tetapi keputusan konsili-konsili Gereja Katolik menghentikan perdebatan dan menghapus kekhawatiran para ahli alkitab pada masa itu. Tidak kurang dari Santo Agustinus sendiri - salah satu doktor Gereja - yang mengatakan begini: "Aku tidak akan meletakkan imanku pada kitab Injil, jika bukan karena otoritas Gereja Katolik yang mengarahkan aku untuk berbuat demikian." Bahwa keputusan Gereja Katolik untuk tetap mempertahankan kitab-kitab Deuterokanonika dan mengabaikan Kanon Palestina, menunjukkan bimbingan Roh Kudus yang membawa kepada segala kebenaran (Yohanes 16:13). Ketika Gulungan-gulungan Laut Mati (Dead Sea Scrolls) ditemukan di Qumran, tepi barat sungai Yordan pada abad ke-20 ini, diantaranya terdapat salinan-salinan asli dalam bahasa Ibrani atas kitab-kitab Deuterokanonika yang diperdebatkan tersebut.

Pertanyaan: Mengapa disebutkan bahwa Deuterokanonika terdiri dari tujuh kitab sedangkan dalam Alkitab bahasa Indonesia yang saya miliki ada sepuluh bagian dalam Deuterokanonika?
Jawaban: Tujuh kitab-kitab tersebut adalah Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, 1 Makabe dan 2 Makabe. Tambahan-tambahan pada kitab Ester dan Daniel tentunya dimasukkan kedalam kitab-kitab yang bersangkutan sedangkan Surat Nabi Yeremia dimasukkan sebagai pasal 6 dari kitab Barukh. Dalam Alkitab bahasa Indonesia terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, kitab-kitab Deuterokanonika diletakkan pada posisi yang aneh dan tidak sesuai urutan, ini untuk memudahkan penerbit yang sama menerbitkan Alkitab versi Protestan, yaitu tanpa Deuterokanonika. Jika anda membeli Alkitab dalam bahasa Inggris seperti di Amerika contohnya, kitab-kitab Deuterokanonika dimasukkan dalam urutannya yang alami. Perlu juga disebutkan disini bahwa versi-versi Alkitab kaum Protestan pada awalnya - seperti versi asli King James Bible - masih memiliki Deuterokanonika di dalamnya.

Pertanyaan: Ada berapakah versi Alkitab dalam bahasa Inggris?
Jawaban: Dalam bahasa Inggris, ada beberapa versi Alkitab baik bagi umat Katolik maupun Protestan. Bagi umat Katolik ada versi RSVCE (Revised Standard Version Catholic Edition) yang direkomendasikan oleh Vatikan. Ada NAB (New American Bible) yaitu yang merupakan Alkitab resmi bagi umat Katolik di Amerika Serikat. Ada juga NJB (New Jerusalem Bible) yaitu Alkitab yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani dan dipakai oleh sebagian kalangan Gereja Katolik dari ritus-ritus Timur. RSVCE adalah versi yang paling serupa dengan bahasa asli kitab suci karena merupakan terjemahan kata demi kata. Sedangkan NAB dan NJB serta beberapa versi lainnya merupakan terjemahan yang sudah disesuaikan dengan pemakaian bahasa Inggris pada masa kini, jadi penekanan pada segi arti dari kata-kata/kalimat yang dipakai pada bahasa asli kitab suci. Umat Katolik sebaiknya menghindari berbagai versi Alkitab Protestan, diantaranya: RSV (Revised Standard Version), KJV (King James Version), NIV (New International Version), Tyndale Bible dan Zonderfan Bible. Untuk mengenalinya mudah saja, tidak satupun diantaranya mempunyai kitab-kitab Deuterokanonika. Sebetulnya ada juga diantaranya yang menyertakan kitab-kitab Deuterokanonika, yaitu yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit sekuler seperti Oxford dan lain-lain. Namun mereka menyebut Deuterokanonika dengan sebutan Apocripha. Jadi anda tahu membedakan yang mana Alkitab Katolik dan yang mana Alkitab Protestan. Alkitab-alkitab Katolik juga memiliki Imprimatur dan Nihil-Obstat yang dapat anda temukan pada bagian muka dari Alkitab tersebut. Ini praktisnya adalah tanda bahwa buku yang bersangkutan telah diperiksa oleh pejabat Gereja Katolik, apakah itu imam ataupun uskup. Penulis merekomendasikan anda untuk mendapatkan Alkitab NAB terbitan Oxford yang merupakan study-bible, lengkap dengan penjelasan-penjelasan akan sejarah PL dan PB, berikut penjelasan akan perumpamaan-perumpamaan yang ada dalam kitab Injil. Penulis juga merekomendasikan Alkitab RSVCE yang dikenal dengan sebutan Ignatius Bible sebagai back-up. Harga Alkitab NAB terbitan Oxford US$24 untuk soft-cover sedangkan RSVCE Ignatius Bible harganya US$20 untuk soft-cover.

Pertanyaan: Ada sementara kalangan Islam yang percaya bahwa di dalam Alkitab umat Kristiani telah terjadi salah terjemahan yang sangat fatal: yaitu kata "Lord" dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai "Tuhan" dalam bahasa Indonesia, padahal kamus Inggris-Indonesia menyebutkan bahwa kata "lord" mestinya diterjemahkan sebagai "tuan", bukan "Tuhan". Dengan demikian hal ini mendukung teori agama mereka yang mengatakan bahwa Yesus jelas bukan Tuhan dan sekedar manusia biasa.
Jawaban: Tuduhan ini bukan baru muncul belakangan ini. Pada tahun 1980-an, Remi Silado, seorang umat Islam dan artis terkenal pada masa itu pernah melontarkan tuduhan yang sama di dalam suatu majalah bulanan. Pertama-tama perlu ditegaskan disini, bahwa Alkitab bahasa Indonesia tidaklah diterjemahkan dari Alkitab bahasa Inggris. Lihatlah pada bagian awal Alkitab dimana tertulis bahwa "Teks Perjanjian Lama diterjemahkan dari Bahasa Ibrani. Teks Perjanjian Baru diterjemahkan dari Bahasa Yunani. Teks Deuterokanonika diterjemahkan dari Bahasa Yunani". Kedua, perlu diketahui bagi orang Indonesia yang jelas bukan native English speaker - bahwa kata "Lord" dalam Alkitab berarti "God" atau "Tuhan". Kata "Lord" bukan hanya digunakan pada Yesus, tetapi juga pada Allah Bapa dalam ayat-ayat Perjanjian Lama.

Pertanyaan: Majalah DR pada edisi awal tahun 1999 pernah memuat surat dari seorang kiai dalam kolom Surat Pembaca dimana beliau mengatakan bahwa kedatangan nabi Muhammad telah tertulis dalam kitab Injil. Benarkah demikian? Jawaban: Penulis berpendapat, mungkin pak kiai mengutip dari Yohanes 14:16-17, 25-26, 16:7-8,13-14 dan mengira bahwa "Penolong" atau "Penghibur" atau "Roh Kebenaran" yang dimaksud adalah nabi Muhammad. Tapi kita umat Kristen tahu bahwa yang dimaksud adalah Roh Kudus. Akan tetapi penulis merencanakan untuk berkonsultasi dengan kalangan evangelis Katolik untuk meminta pendapat mereka mengenai hal ini.
________________________________________
Penulis : Jeffry Komala

Nara sumber: Where We Got The Bible: Our Debt to the Catholic Church, 22nd edition, by The Right Rev. Henry G. Graham, published by Tan Books & Publishers, Inc.; Beginning Apologetics 1: How to Explain and Defend The Catholic Faith, by Father Frank Chacon and Jim Burnham, published by San Juan Catholic Seminars; The Catholic Bible (NAB): Personal Study Edition, published by Oxford University Press.

Rekomendasi bacaan: The History of Christendom, by William H. Carrol.

Sumber inspirasi: The Catholic Answer lay apostolate. Website: http://www.catholic.com

Hilangkan Prasangka dan Stereotype Lewat Interaksi

Hilangkan Prasangka dan Stereotype Lewat Interaksi


Dr Jeanny Maria Fatimah, Dosen Psikologi Komunikasi Fisip Unhas

HAMBATAN integrasi kerap terjadi pada etnik Tionghoa dan etnik Bugis-Makassar selama ini. Akar permasalahannya terletak pada prasangka dan stereotype di antara kedua etnik ini. Konflik yang menjurus pada SARA juga pernah terjadi di Makassar dan mengakibatkan roda perekonomian nyaris lumpuh.Padahal, sebenarnya, kedua etnik ini memiliki keinginan untuk saling berinteraksi. Komunitas lintas budaya ini menjadi topik disertasi Dr Jeanny Maria Fatimah, dosen psikologi komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Unhas.

Bagaimana sebenarnya interaksi etnik Tionghoa dan etnik Bugis -Makassar? Kendala apa saja yang ada di dalamnya dan apa solusi agar interaksi berjalan baik tanpa memicu konflik? Berikut petikan wawancara Anggi S. Ugart dengan Jeanny di kantornya, Jumat kemarin:

Anda termasuk konsen meneliti soal interaksi sosial, pembauran dan komunikasi lintas budaya etnik Tionghoa dan Bugis Makassar. Apa yang Anda temukan dalam interaksi pembauran kedua etnik itu dalam saat Anda penelitian di Makassar?

Pada dasarnya, kedua etnik ini memiliki keinginan untuk saling berinteraksi dengan baik. Mereka juga memiliki kecakapan untuk berinteraksi karena sudah saling menghormati dan menghargai, serta saling menerima kekurangan.

Seandainya kedua etnik ini memiliki hal itu, integrasi akan terwujud yang lahir dari interaksi yang dilandasi rasa kebersamaan, solidaritas,dan saling menghargai.

Sejauhmana proses interaksi itu terjadi? Hal itu memerlukan proses dan sementara terjadi. Kita ingat pada periode orde baru. Selama 32 tahun, kebudayaan kaum Tionghoa dilarang muncul. Sejak tahun 1997, pada era reformasi dibuka lagi kran untuk memunculkan budaya etnik Tionghoa. Sekarang ini itu sedang menuju ke proses.

Tapi, proses itu bergantung juga pada masing-masing individu kedua etnik. Kalau individu memandang bahwa interaksi itu merupakan kebutuhan untuk hidup bermasyarakat, maka integrasi akan terwujud walau pun butuh waktu lama. Karena trauma masa lalu, di mana Tionghoa selalu disalahkan dan dijadikan pelampiasan kemarahan.

Walaupun kasusnya sedikit, tapi kita juga harus ingat bahwa etnik Tionghoa ini memiliki andil dalam pembangunan. Dulu saat terjadi kerusuhan di Makassar, toko tutup selama sepekan. Banyak ibu-ibu yang kerepotan memenuhi kebutuhan sehari-sehari.

Jadi, sesuai teori interaksi sosial bahwa setiap orang atau individu membutuhkan individu lain. Demikian juga etnik Tionghoa membutuhkan etnik Bugis-Makassar, dan demikian juga sebaliknya. Karena sifat setiap individu itu membutuhkan bantuan, pertolongan dari orang lain entah itu kapan. Setiap orang saling membutuhkan dalam hidup bermasyarakat.

Untuk menuju interaksi sosial yang baik antara etnik Tionghoa dan etnik Bugis-Makassar ini, faktor apa saja yang mendukung hubungan itu? Yang mendukung adalah harus ada saling menghargai, saling menghormati dan menerima kekurangan masing-masing. Misalnya, ada anggapan bahwa etnik Tionghoa itu cenderung eksklusif, orangnya pelit. Tapi dalam hal-hal tertentu, mereka juga mau menolong dan tak mau eksklusif.

Saya pernah bertanya ke informan tentang pandangan bahwa sebagian masyarakat etnik Tionghoa itu eksklusif, hidupnya tak mau membaur. Katanya mereka, etnik lainnya dalam hal-hal tertentu juga akan mencari komunitasnya. Informan itu mengatakan, cara itu salah satu kebutuhan Tionghoa untuk menghidupkan budayanya.

Selama ini, apa yang menjadi kendala dalam interaksi sosial antara kedua etnik? Kendala pertama adalah masih adanya prasangka dan stereotype yang menandai perbedaan kedua etnik. Etnik Bugis-Makassar menilai bahwa etnik Tionghoa tidak mau bergaul. Padahal, orang Tionghoa berpendapat bahwa mereka sama saja dengan individu lainnya. Mereka juga ingin bergaul dengan siapa saja.

Seperti yang telah saya katakan tadi, teori interaksi sosial mengatakan bahwa setiap individu membutuhkan orang lain dan ingin bergaul dengan siapa saja. Sebenarnya hal itu kendalanya, stereotype yang masih melekat pada etnik Bugis Makassar terhadap etnik Tionghoa. Padahal, mereka juga ingin bergaul seperti yang lainnya.

Apalagi mereka di sini untuk mencari hidup. Jadi mereka itu harus juga menyesuaikan dengan lingkungan di mana mereka berada. Memang ada yang totok tapi mereka sudah tua dan masih dipengaruhi oleh budaya asli.

Tapi yang sudah tiga generasi di sini, logatnya saja sudah sama dengan etnik Bugis-Makassar. Mereka juga sudah tidak lancar berbahasa Mandarin. Hanya satu dua yang bisa, tidak selancar yang totok. Generasi ketiga itu malah sudah ada keturunan etnik Bugis-Makassar, Toraja dan sebagainya. Mereka ingin sekali berintegrasi. Integrasi yang saya teliti itu adalah adanya rasa kebersamaan, ingin hidup berdampingan di mana mereka berada.

Bagaimana dengan etnik Bugis-Makassar sendiri, apakah juga punya keinginan yang sama? Etnik Bugis -Makassar juga harus menyesuaikan diri di mana mereka berada. Jangan hidup di satu wilayah saja. Kalau bisa, mereka hidup di wilayah campuran agar integrasi cepat terjadi, juga tercipta solidaritas. Tapi butuh proses cukup lama.

Sebenarnya, dua etnik ini mau bekerja sama tapi kendalanya hanya pada prasangka dan stereotype yang masih melekat. Dan, memang setiap individu memiliki hal itu.

Bagaimana menghilangkan prasangka dan stereotype itu? Kedua etnik, baik Tionghoa maupun Bugis-Makassar harus lebih sering berinteraksi, bergaul dan terlibat dalam beberapa acara bersama. Itu salah satu jalan keluarnya, berdasarkan hasil penemuan saya dalam penelitian.

Kedua etnik kerap terlibat konflik seperti kejadian beberapa tahun lalu di Makassar. Menurut Anda, apa faktor pemicunya? Hasil temuan saya, karena ada unsur politis, kebijakan yang selama ini lebih menyudutkan etnik Tionghoa. Sebenarnya, mereka tidak menginginkan konflik itu terjadi. Baru-baru saya ketemu dengan tokoh dari etnik Tionghoa bahwa saat terjadi pelecehan seksual di Jl G Latimojong, mereka mengimbau kaumnya agar tidak terlalu emosional. Demikian juga tokoh etnik Bugis-Makassar.

Menurut mereka, biarlah pemerintah dan aparat keamanan yang menyelesaikan. Misalnya, yang bersalah dihukum sesuai prosedur yang berlaku. Jadi, yang tidak bersalah itu jangan dijadikan korban. Tapi, hukumlah mereka yang memang bersalah. Pada saat meneliti, hal ini sempat saya tanyakan. Tokoh-tokoh Tionghoa juga cepat meredam jika ada konflik sebelum menjadi besar.

Dalam pembauran ini, apakah masih akan terjadi konflik antar kedua etnis ini? Menurut saya, seandainya setiap individu itu memiliki keinginan yang sama untuk hidup berdampingan dalam suatu wilayah, maka saya sangat optimis tidak akan terjadi lagi konflik. Sepanjang kedua etnik ini menghapus prasangka dan stereotype yang mengganjal interaksi. Akar permasalahannya itu adanya prasangka dan stereotype itu. Meski setiap individu memiliki kedua hal ini.

Lantas, solusi apa yang Anda tawarkan agar interaksi berjalan baik demi terwujudnya integrasi bangsa? Seringlah bergaul, bertemu via acara-acara yang digelar oleh masing-masing etnik. Dari sumber saya dalam penelitian, kedua etnik sebagian ada yang saling berkunjung saat ada hari-hari besar keduanya. Jadi, hilangkan prasangka dan stereotype melalui interaksi. Maka lambat laun saling mengenal.

Apa harapan etnik Tionghoa ini? Mereka ingin diakui seutuhnya sebagai masyarakat Makassar, tidak setengah-setengah. Meski berbeda etnik, tapi ingin membangun Indonesia, khususnya Makassar. *

TUJUH PRINSIP KEPEMIMPINAN YESUS KRISTUS

Name Rai Utama I Gusti Bagus
Location Leeuwarden
Comments Buat Admin, mohon di publish di Opini artikel di bawah ini.
----------
TUJUH PRINSIP KEPEMIMPINAN YESUS KRISTUS
Oleh: I Gusti Bagus Rai Utama, MMA


Siapa sajakah yang tergolong pemimpin besar di dunia ini? Kita tidak akan menyebutkannya satu persatu karena jika ditulis juga di sini maka halaman ini akan penuh dengan daftar nama saja. Ada banyak tipe kepemimpinan di dunia ini, dari yang paling otoriter sampai yang paling demokratis dan humanispun ada. Namun kali ini kita akan mengexplorasi kepemimpinan Yesus Kristus untuk memudahkan kaum awam dapat mengerti dan memahaminya. Bahasa yang digunakanpun bahasa sehari-hari atau bahasa pasaran, namun tetap bersumber pada Alkitab yang sejati.

1. Identifikasi
Kalau kita lihat seseorang yang ingin menjadi anggota dewan atau pemimpin partai, begitu juga Yesus Kristus telah menyatakan BiodataNya agar pengikutnya tidak salah jika ingin mengikutinya. Namun pernyataan diri Yesus Kristus adalah hal yang benar, berbeda dengan para pemimpin dunia yang cenderung mengexplorasi hal-hal yang baik-baik saja dan penyembunyikan yang jelek yang ada pada dirinya. Misalnya, ada seorang anggota partai yang tidak pernah kuliah master menggunakan gelar master padahal mereka dapat beli atau pakai ijazah bodong. Yesus sangat tegas menyatakan siapa diriNya, dari mana asalNya. Lebih lanjut baca (Yoh 6: 35, 8:12, 14:6; Mark 14:61-62)

2. Misi
Bagi anda yang sering menonton kampaye partai politik atau bagi anda yang sering ikut serta dalam acara sidang sinode atau sidang pemilihan para pemimpin dunia tidak akan asing lagi dengan istilah misi ini. Terkadang dan sedikit para pemimpin yang telah menyatakan misinya akan menjalankan misinya jika ia kelak memimpin. Misi yang ia sampaikan sebelum ia terpilih akan sangat berbeda dengan apa ia lakukan hari ini. Namun sangat berbeda dengan kepemimpinan Yesus Kristus, apa yang Ia sampaikan dengan apa yang Ia lakukan adalah sudah dituliskan dalam Alkitab dan dilakukan juga sesuai dengan apa yang ada di dalam Alkitab. Ia telah melakukan dengan cara yang benar dan melakukan hal yang benar dalam hal ini Ia telah bertindak sebagai menejer dan sekaligus sebagai pemimpin. Ia sebagai manajer karena Ia sebagai utusan Bapa dan Ia harus melakukan hal-hal yang dititahkan Bapa. Ia juga sebagai pemimpin karena Ia juga dapat dan mampu menjalankan dan mengambil keputusan dengan benar. Lebih lanjut baca (Yoh 8: 14, 17:3-4; Luk 4:43)

3. Motivasi
Ada kalanya seorang direktur atau kepala departemen sebuah perusahaan entah dimiliki oleh lembaga gereja atau lembaga lainnya tidak mau “bukan tidak bisa” memberikan motivasi yang dapat ditiru oleh para pengikutnya, kita sebut di sini pengikut bukan bawahan untuk meninggikan yang rendah dan tidak merendahkan yang tinggi. Datang ke kantor dengan seenak dan sekehendak hatinya, kalau pengikutnya datang jam 7 pagi, kalau pemimpin boleh jam berapapun, itulah pemimpin dunia. Sangat berbeda dengan kepemimpinan Yesus Kristus. Yesus terlebih dulu menguduskan dirinya karena Ia ingin pengikutnya turut mengukuskan diri. Yesus tidak pernah menghakimi dengan “tangan salah maka tanga harus dipotong” tapi Ia menghakimi dengan cara yang bijaksana dan benar agar cara inipun akan ditiru oleh para pengikutnya. Lebih lanjut baca (Yoh 5: 30; 17:19,26)

4. Partisipasi
Coba kita lihat teman-teman kita yang telah berhasil menjadi seorang pejabat atau anggota dewan atau apasajalah yang mereka sebut sebagai pejabat akan merubah lifestyle serta gaya hidupnya setelah menjadi pemimpin. Semua pengikutnya harus memberi hormat walapun dia sendiri tidak pernah menyapa pengikutnya dengan bersahabat. Mobil harus diganti dengan yang baru, rumah harus dicat setiap tahun karena anggarannya harus dihabiskan, dan banyak lagi hal-hal yang tidak menggambarkan kepemimpinan kristiani. Yesus telah memberi teladan yang baik buat kita. Coba kita bayangkan, adakah seorang manusia yang kaya raya harus mau hidup miskin disepanjang hidupnya? Yesus telah melakukan itu buat kita, Yesus menunjukkan bahwa Ia juga turut berpartisipasi sebagai orang miskin. Adakah seorang manusia yang gagah perkasa, sakti mantra guna harus mati oleh tusukan tombak dan tancapan paku di kayu salib? Hanya Yesus yang mau untuk itu. Baca lebih lanjut (Yoh 15:15-16; 17:22; 1 Kor 3:9)

5. Konsentrasi
Dalam hidup ini, tekadang kita sangat susah untuk menentukan dan memusatkan pikiran dan konsentrasi kita. Tatkala seseorang yang telah memegang jabatan yang tinggi sangat mudah untuk melihat banyaknya uang dan kuasa yang bisa ia gunakan untuk keperluan pribadinya. Antara sumpah atau janji jabatan dan tindakannya juga tidak pernah terkonsentrasi pada sumpah atau janji jabatan yang pernah ia ucapkan. Kita mendengar di beberapa mediamasa, anggota DPR yang korupsi, menteri yang korupsi bahkan yang lebih parah lagi mungkin ada juga pengurus gereja yang telah melakukan korupsi hanya kita tidak mengerahuinya. Jika kita menjadi pemimpin, tetaplah teguh pada sumpah atau janji yang pernah diucapkan. Begitu halnya dengan janji yang pernah diucapkan tatkala kita menerima baptisan kudus, kita telah berjanji untuk mengikut Yesus dengan sepenuh hati namun tatkala kita melihat uang yang melimpah kita sangat mudah melupakan janji tersebut. Terkadang kita sering melakukan pekerjaan yang tidak menunjukkan anak-anak Tuhan, perjudian, prostitusi, korupsi, dan gila hormat tetap saja kita lakukan. Yesus mengajarkan agar kita tetap konsentrasi hanya satu nama Yesus kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, tidak ada nama lain lagi pada diri kita. Baca lebih lanjut (Luk 9: 49-51; 77,62)

6. Meditasi
Dalam satu hari kita diberikan waktu 24 jam, dalam satu minggu ada 7 hari. Terkadang karena kita terlalu sibuk atau menyibukkan diri, kita menjadi lupa bahwa tubuh kita yang duniawi ini dan pikiran kita yang penat ini butuh juga waktu istirahat. Ada yang sangat sibuk mengejar kehormatan duniawi, ikut partai ini itulah sampai sampai gereja hanya dikunjungi jika ada keluarga yang menikah, dan hari Natal karena kebetulan Libur Nasional. Ada yang sangat sibuk dengan lemburan, ada yang sangat sibuk dengan sekolah atau kuliah karena kebetulan kuliahnya Sabtu dan Minggu, ada yang sibuk ini dan itu, tentunya ada juga yang memang malas datang ke gereja. “Hari sabat diciptakan untuk manusia bukan manusi untuk hari sabat” istilah ini akan mengingatkan kita bahwa Tuhan telah menciptakan manusia tentu juga ada siklus istirahat harian yang namanya tidur, siklus mingguan yang namanya hari minggu untuk merenung di gereja dan bertemu dengan teman-teman dan juga mendengar Firman Tuhan yang disampaikan lewat kotbah seorang pendeta. Tubuh dan pikiran kita juga perlu penyegaran, mengingatkan kembali firman Tuhan, bertemu dengan teman-teman dalam pertemuan yang rohani. Lebih lanjut baca kisah Marta dan Maria (Luk 5:15-16; 10: 40, 41-42)

7. Rekreasi
Menurut teori leisure yang telah berkembang di eropa, ternyata rekreasi memberikan dampak yang positip terhadap keharmonisan rumah tangga, perilaku kerja sehingga pekerjaan yang dilakukan setelah melakukan rekreasi lebih efektive dan efesien. Coba kita bayangkan, orang eropa cukup bekerja satu minggu saja untuk dapat menghidupi keluarganya selama satu bulan. Sangat berbeda dengan kita di Indonesia, waktu kita dari pagi sampai petang, dari senin sampai minggu kita habiskan untuk bekerja namun hasil yang kita dapatkan tidak seberapa. Akan sangat parah lagi jika kita melihat perilaku kebanyakan para PNS kita, sudah banyak waktu yang dikorup, waktu kerja digunakan untuk main catur, baca koran dan ngobrol yang bukan-bukan, mudah mudahan hal ini tidak dilakukan oleh anak-anak Tuhan. Ada yang beranggapan bahwa untuk mengetahui sebuah lembaga atau perusahan sehat atau bukan, cukup dengan melihat perilaku seorang pemimpinnya, misalnya: apakah pemimpinnya bisa istirahat dengan tenang? Apakah ia punya waktu untuk keluarganya? Apakah ia punya waktu untuk ke “gereja”? dan banyak lagi indicator yang cukup sederhana namun dapat menunjukkan hal yang sebenarnya. Apa benar Yesus juga menyarankan kita untuk meluangkan waktu untuk rekreasi? Ketika Yesus mengajak para muridnya pergi ke tempat sunyi untuk dapat istirahat, dapat menunjukkan Yesus juga menyarankan agar kita juga perlu melakukan rekreasi dan istirahat. Lebih lanju baca (Markus 6: 31-32)

Dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan Yesus Kristus adalah kepemimpinan yang sangat sederhana sehingga setiap orang yang ingin meneladaninya mampu untuk melakukannya. Identifikasi diri adalah symbol kejujuran, Misi adalah symbol kesanggupan mengambil pekerjaan, Motivasi adalah symbol memberi teladan yang baik, Partisipasi adalah symbol kebersamaan, Konsentrasi adalah symbol memegang prinsip awal, Meditasi adalah symbol perenungan, dan Rekreasi adalah symbol penghargaan akan waktu dan keluarga serta relasi.

-----------------------
Penulis: Dosen Tetap STIM Dhyana Pura, sedang kuliah di CHN Belanda.

Transformasi Tradisi - Sebuah Otokritik Orang Toraja

Transformasi Tradisi
Sebuah Otokritik Orang Toraja

Subhan SD - Kompas Senin, 22 Januari 2007

Cara orang Toraja mewarisi tradisi leluhur sungguh luar biasa. Pesona ritus rambu tuka’ dan rambu solo’ yang sakral, atraktif, dan kolosal mampu menyedot perhatian dunia. Namun, ritus itu dinilai terlalu banyak menguras biaya.

Dalam sistem kepercayaan asli Aluk Todolo (agama leluhur), ritus orang Toraja dikelompokkan dalam dua jenis, yakni rambu tuka’ dan rambu solo’. Rambu tuka’ berkaitan dengan upacara kehidupan, antara lain kelahiran, perkawinan, pesta panen, dan pesta sukacita. Ritus ini dilakukan pada saat matahari terbit hingga tengah hari (aluk rampe mataallo). Ritus ini berorientasi ke arah timur. Karena itu, dilaksanakan di sebelah timur tongkonan (rumah adat). Rambu solo’ merupakan upacara yang terkait dengan kematian. Ritus ini mengikuti aturan upacara pada sore hari (aluk rampe matampu). Upacara yang umumnya prosesi penguburan ini dilaksanakan di sebelah barat tongkonan.

Ritus-ritus tersebut tidak hanya berdimensi religi, tetapi juga sosial. Semakin tinggi tingkat stratifikasi sosial seseorang/keluarga, upacara itu makin lama (beberapa hari) dan banyak memotong kerbau. Dalam kepercayaan asli, kerbau dipercaya sebagai kendaraan arwah menuju alam arwah atau surga (puya). Selain bernilai materiil, kerbau juga bernilai religius. Tak heran upacara rapasan sapu randanan (yang digelar kelas bangsawan tinggi) bisa berlangsung minimal tujuh hari—bahkan hingga berbulan-bulan—dengan jumlah kerbau minimal 12 ekor. Karena itulah, tak perlu heran kalau upacara tersebut menyedot biaya yang besar, hingga miliaran rupiah.

Di Tanatoraja (Tator), cara pandang sosial terhadap upacara itu bukan dilihat dari jumlah uang yang dkeluarkan, tetapi jumlah kerbau yang dipotong. Sebab, dari jumlah kerbau itulah orang bisa mengetahui status sosial keluarga yang menyelenggarakan upacara tersebut. Di Pasar Hewan Bolu, Rantepao, harga kerbau umur 3-4 tahun Rp 5 juta-Rp 10 juta per ekor. Namun, di Tator ada kerbau yang khas, yaitu kerbau belang (tedong bulen). Kerbau jenis ini harganya sangat mahal, bisa mencapai ratusan juta rupiah per ekor.

Siri’ mate

Struktur sosial masyarakat dalam sistem agama leluhur mengenal ketentuan potong kerbau, seperti 6 ekor, 8 ekor, dan 12 ekor. Akan tetapi, menurut Nico B Pasaka, tokoh Toraja yang Ketua Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI), jumlahnya bisa lebih dari itu karena kadang-kadang jumlah kerbau yang dipotong—seperti disebutkan di atas—dianggap tidak cukup, terutama yang bernilai sosial. Misalnya, jumlah itu belum mencakup jatah untuk tempat ibadah atau jatah bagian pembangunan desa.

Cara menyelenggarakan upacara dan jumlah kerbau yang dipotong itu juga tak lepas dari kelas sosial. Dulu stratifikasi sosial didasarkan pada keturunan dan kedudukan. Dalam sistem pelapisan sosial, yang disebut tana’ (kasta) itu adalah tana’ bulaan (bangsawan tinggi, pemegang aturan dan pemimpin agama), tana’ bassi (bangsawan menengah), tana’ karurun (rakyat kebanyakan, orang-orang terampil), dan tana’ kua-kua (hamba pengabdi bangsawan).

Akan tetapi, makin lama kian terjadi perubahan. Kini strata sosial tidak lagi beralaskan sendi-sendi tradisional, seperti keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemapanan ekonomi. Tak mengherankan, banyak kelas rakyat kebanyakan yang dulunya mengabdi pada kaum bangsawan kini menggapai posisi sendiri dalam sistem strata sosial itu.

"Mereka yang dulunya belum memiliki apa-apa, kemudian berhasil dan ingin mengadakan upacara yang katakanlah 25 tahun lalu belum dilakukan karena memang baru punya duit sekarang," kata IY Panggalo, pengajar pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja.

Oleh karena itu, walaupun upacara itu menyedot banyak uang, orang Toraja tetap konsisten mempertahankan tradisinya. Terlebih lagi, dalam kepercayaan Aluk Todolo, hidup dan mati adalah peralihan dari alam fana menuju alam arwah (puya). Selama hidup, manusia bisa berbuat baik dan mengumpulkan harta sebagai bekal ke alam arwah.

Menurut Andi Fatwamaty Umar, dalam "Sejarah dan Budaya Toraja" (Toraja Dulu dan Kini, 2003), kesempurnaan upacara kematian dan status sosial dalam hidup akan menentukan posisi arwah, apakah sebagai bombo (arwah gentayangan), tomembali puang (arwah yang mencapai tingkat dewa), atau deata (dewa pelindung). Orang dianggap benar-benar mati setelah dilangsungkan upacara. "Kadang-kadang, kalau belum diupacarakan, dikatakan bombo-nya gentayangan," kata Panggalo.

Dalam konteks itulah upacara kematian menjadi "kewajiban" karena merupakan rasa malu atau harga diri yang disebut siri’ mate.

Menurut Prof C Salombe dalam "Siri dalam Masyarakat Toraja" (Siri’ dan Pesse’: Harga Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja; 2003), jenazah yang dikuburkan tanpa mengurbankan minimal satu kerbau dan beberapa babi dinilai siri’. Orang yang tidak diupacarakan dengan memotong hewan disebut todibaa bongi, yaitu orang yang jenazahnya dikubur pada malam-malam secara sembunyi-sembunyi.

Pergeseran makna

Karena sistem kepercayaan yang berkembang di dalam masyarakatnya, maka dengan cara apa pun orang Toraja hampir pasti akan mengadakan upacara, karena dengan begitulah mereka menjaga tradisinya.

Di sinilah persoalannya, orang Toraja dinilai terlalu mengurus hal-hal yang terkait dengan masa lalu. Dalam realitas seperti itulah kritik Jonathan L Parapak, Ketua Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PMTI), dalam acara "Toraya Mamali" (Rindu Toraja) bulan Oktober lalu sungguh menggelitik orang Toraja sendiri. Parapak menegaskan, dewasa ini Toraja sedang prihatin dengan kualitas sumber daya manusia yang dimiliknya. Salah satu faktor penyebabnya, katanya, orang Toraja terlalu banyak menguras energi untuk mempersoalkan masa lalu. Mereka terlalu banyak mengurusi soal pesta rambu tuka’ dan rambu solo’ sehingga kurang memberi ruang untuk masa depan, kurang peduli terhadap kondisi dan perkembangan di sekitarnya.

Otokritik itu seperti kian membuka mata banyak orang Toraja. Terlebih lagi, dari waktu ke waktu, sebagaimana dikatakan Panggalo, upacara-upacara tersebut juga telah mengalami pergeseran. "Memang jumlah kerbau itu sangat penting, tetapi tidak perlu sampai banyak sekali. Di dalam upacara rapasan sapu randanan saja jumlah kerbau menurut adat hanya 24 ekor. Nah, kalau sekarang jumlahnya semakin banyak, itu terjadi pergeseran," katanya.

Menurut Panggalo, pergeseran itu mulai terjadi pada dekade 1960-an dan semakin mencolok pada tahun 1980-an di zaman Orde Baru tatkala kondisi ekonomi relatif stabil. Ketika itu, banyak orang Toraja (perantauan) yang berhasil secara ekonomi maupun sosial melakukan upacara adat dengan jumlah pemotongan kerbau yang banyak. Semakin banyak kerbau yang disembelih, semakin kuat dalam konteks pengakuan sosial. Hal itulah yang justru membawa dampak negatif, antara lain terjadinya persaingan tak sehat. Mereka terkesan berlomba-lomba dalam hal jumlah kerbau yang dipotong.

"Kalau sudah berhasil, sudah kaya, sudah berhasil dalam pendidikan, malah kemudian bersaing dengan saudaranya, dengan tetangganya. Jadi, terjadi kompetisi tidak sehat. Harusnya kan yang wajar-wajar saja, misalnya potong kerbau 15 ekor, tak perlu lebih banyak lagi," kata Nico Pasaka.

Tradisi penguburan yang amat menarik di Tator ternyata memang sangat mahal. Lelaki 60 tahun itu mencontohkan, untuk membuat liang kubur di tebing batu tersebut perlu biaya Rp 60 juta dan bayar tenaga ahli pembuat liang itu sekitar Rp 25 juta—untuk pekerjaan sekitar setahun.

Generasi muda kini melihat masalah ini lebih realistis. "Kalau dalam upacara adat itu, uang memang dihabiskan dalam beberapa hari. Sebetulnya tindakan tersebut merupakan pemborosan. Apalagi buat kami generasi muda, hal itu kurang baik. Karena, untuk upacara adat itu, (yang tidak punya) pasti berutang. Kalau tak bisa bayar, nanti anak cucu kita yang menanggung," kara Randy, pemuda Toraja yang ditemui di Londa.

Proporsional

Namun, mengikis ritus yang justru menjadi salah satu daya tarik Tator itu bukan perkara mudah. Apalagi menyangkut sistem kepercayaan yang hidup sejak abad ke-9, yang diyakini diturunkan oleh Puang Matua (Sang Pencipta). Meski demikian, sekarang orang Toraja sudah mulai berupaya memodifikasi tradisi itu dalam konteks kekinian, yaitu bagaimana mengadopsi nilai-nilai lama itu ke dalam realitas sosial saat ini.

"Sebetulnya transformasi budaya sudah terjadi sejak lama, tetapi nilai-nilai etnis tidak bisa dilupakan karena ada aspek harga diri dalam arti positif, ada pride (kebanggaan). Bagaimana pun modernnya, orang Toraja tetap masih terkait dengan leluhur. Budaya saat ini merupakan warisan nenek moyang kita dan tentunya kita akan mengadopsi dengan nilai-nilai yang relevan, tidak akan menghilangkan nilai-nilai dasar. Kita bisa belajar dari Jepang yang sangat konsisten dengan budayanya," kata Nico yang juga Ketua Association of the Indonesian Tour and Travel Agencies (Asita) Sulawesi Selatan.

Oleh karena itu, untuk transformasi tradisi, kata Panggalo, diperlukan otokritik. Panggalo mencontohkan, saat ini sudah banyak orang Toraja yang berani melakukan upacara secara sederhana. Misalnya, cukup memotong beberapa kerbau dan justru membagikan uang tunai secara langsung kepada masyarakat untuk kepentingan pembangunan.

Panggalo mencontohkan acara yang digelar Komisaris Jenderal Insmerda Lebang, penggagas acara "Toraya Mamali", saat mengupacarakan mendiang sang ayah, Kolonel (Pol) Ernst Lebang. "Pak Lebang melakukan upacara orangtuanya sederhana sekali. Saya dengar, cuma memotong tiga kerbau dan uang yang harusnya dibelikan banyak kerbau malah langsung diberikan untuk pembangunan desa dan masyarakat. Ini merupakan reformasi total yang berani," kata Panggalo.

Pihak gereja sendiri, tambah pendeta yang menjabat Sekretaris Umum Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja itu, berupaya agar transformasi tersebut bisa berlangsung. Dengan catatan, tidak menghilangkan adat istiadat, sekaligus masa depan tidak terganggu. Bahkan, di masa silam gereja juga sempat melarang upacara rambu tuka’ karena dinilai sebagai pemujaan terhadap dewa-dewa.